PAREPARE, BACAPESAN.FAJAR.CO.ID – Sepanjang Agustus hingga September 2018, Pemerintah Kota Parepare mulai menjalankan program nasional pemberian Imunisasi Measles Rubella (MR) untuk mencegah campak dan rubella. Di Kota Parepare terdapat empat Kecamatan, enam Puskesmas, dan 244 jumlah sekolah yang menjadi sasaran pemberian vaksin, dengan total 38.174 anak.
Pemberian Vaksin Measles Rubella (MR) dilakukan secara gratis pemerintah dengan target anak usia sembilan bulan sampai kurang dari 15 tahun. Hal itu dilaksanakan berdasarkan regulasi Kementerian Kesehatan untuk melaksanakan imunisasi MR tahap kedua di Wilayah luar Pulau Jawa yang dimulai serentak pada 1 Agustus sampai September 2018 lalu.
Dalam sosialisasi kampanye pemberian vaksin MR tersebut, ada beberapa penolakan dari orangtua murid karena mereka mempersoalkan sertifikat halal yang dikeluarkan fatwa terkait penggunaan vaksin MR bahwa kandungan vaksin itu haram.
“Penolakan pada saat pelaksanaan, utamanya terjadi di sekolah-sekolah yang berbasis agama, dan pesantren. Menurut kami penolakannya tidak tepat, seharusanya dilaksanakan karena ini program nasional, apalagi vaksin ini sudah dikaji, tidak mungkin pemerintah melepas begitu saja tanpa ada pengawalan, dan bukan cuma Parepare saja akan tetapi semua daerah lainnya juga,” ungkap Muliadi, Koordinator Pelaksana Imunisasi Dinas Kesehatan Parepare.
Dari sebelum kampanye kata Mulyadi, untuk meyakinkan orangtua siswa, pihaknya juga sudah melaksanakan mediasi, memberi pemahaman imunisasi MR, baik di sekolah–sekolah kepada guru dan Kepala Sekolahnya, diberikan pemahaman terhadap kampanye MR.
“Satu bulan sebelum pelaksanaan kita sudah gencar melakukan sosialisasi, begitupun setelah pelaksanaan kita tetap dekati lagi sekolah yang tidak capai pemberian vaksin MR, termasuk sekolah-sekolah yang ‘diblaclist’ capaiannya rendah, kita lakukan lagi sosialisasi,” ujarnya menerangkan.
Lanjut Muliadi, untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terkait pentingnya pemberian imunisasi MR, pihaknya pun melibatkan kader posyandu untuk membantu menyosialisasikan di sekolah–sekolah maupun para orangtua yang berkunjung ke posyandu.
“Kalau di posyandu, yang pegang kendali adalah kader, peran aktif kader adalah ujung tombak pelayanan di Posyandu. Dia duluan lebih tahu karena mereka yang bersentuhan dengan masyarakat bukan orang kesehatan langsung, kami dari Dinas Kesehatan hanya teknis pelayanan. Kita hanya pelayanan saja jika ada yang butuh diberikan vaksin maka kita akan turun,” ujarnya menjelaskan.
Setelah melakukan berbagai upaya di 2018, pihaknya melakukan kampanye pemberian imunisasi MR. Di tahun 2019 kata Muliadi, sudah memasuki tahap aman, masyarakat sudah bisa menerima dan tidak lagi terjadi penolakan.
“Tahun 2019 kita sudah berada di titik aman, walau belum tercapai 100 persen, namun capaian sudah sampai 80 dan itu berkat bantuan dari Kader Posyandu yang membantu kami sebagai ujung tombak di tengah-tengah masyarakat,” urai Muliadi.
Ke depan kata Muliadi, perhatian kepada kader posyandu lebih dimaksimalkan. Kader posyandu menurutnya, adalah ujung tombak yang bersentuhan langsung dengan masyarakat yang memiliki peran aktif dan memunyai pengaruh yang sangat besar.
“Capaiannya menjadi 70 sampai 80 persen. Mereka semestinya diberi reward. Bahkan seiring berjalannya kegiatan kampanye MR tahun lalu hanya 56 persen capaian dari target yang ditentukan, setelah kader ini aktif barulah ada peningkatan,” beber pria berkulit sawo matang ini.
Selain kader posyandu tambah Muliadi, sebelumnya, pihaknya juga pernah mendatangkan tim dari UNICEF untuk membantu mengampanyekan dan membantu memberi pemahaman tentang imunisasi MR.
“Bahkan sebelumnya, kita datangkan dr. Neta dari UNICEF khusus untuk membantu kami melakukan sosialisasi dalam dua tahap, masing-masing tiga orang dalam satu tahap kami datangkan tim dari UNICEF ke pondok pesantren, sekolah agama, dan posyandu yang penolakannya tinggi,” tambah Muliadi.
Hal senada juga dikatakan oleh Rasna, salah seorang Aktivis Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Rasna mengungkapkan, peran kader memiliki pengaruh besar di tengah-tengah masyarakat. Hal itu lantaran, informasi yang disampaikan akan didengar langsung oleh masyarakat sebagai perpanjangan tangan program pemerintah.
“Setiap tahapan imunisasi di sini selalu berjalan dengan tepat waktu. Bahkan kader menjemput lagi bayi atau anak untuk diimunisasi jika alasannya jauh, memfasilitasi agar hak anak dapat terpenuhi untuk diberi imunisasi MR,” detail Rasna.
Sebagai pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, pihaknya juga berkoordinasi dengan kader, mendampingi kader ke puskesmas setiap Jumat jika terdapat seorang anak atau bayi yang belum atau terlambat mendapat imun.
Tidak hanya itu kata dia, peran kader juga tidak hanya sekedar melakukan sosialisasi, kader juga bertugas mendatangi warga untuk mengingatkan ibu bayi atau anak sebelum pelaksanaan imunisasi.
Selain itu kata dia, belum lagi jika terjadi penolakan seperti awal kampanye imunisasi MR saat beredarnya fatwa MUI terkait kandungan MR itu haram. Kader kata dia, gencar melakukan sosialisasi, serta melakukan pendekatan dengan memberi model pendekatan menggunakan bahasa yang mudah dipahami masyarakat awam.
“Sebelum kader aktif, kadang capaian hanya 35 persen, setelah dilakukan pendekatan oleh kader sudah ada peningkatan 50 sampai 80 persen,”beber wanita yang diketahui aktif di berbagai organisasi sosial kemasyarakatan ini.
Rasna menguraikan, jumlah kader khusus di wilayah Kecamatan Bacukiki adalah 30 kader, dan terdapat lima kader di tiap posyandu, di antaranya kader pendaftaran, penimbangan, pencatatan, penyuluhan, dan pelayanan.
“Ke depan, kami berharap pemerintah pusat lebih memperhatikan kader posyandu yang merupakan perpanjangan tangan Dinas Kesehatan ke bawah, jangan hanya penyegaran kader saja. Peningkatan kapasitas kader terhadap pengetahuan tentang kesehatan sangat penting, diberikan buku panduan imunisasi ataupun kesehatan anak, apa lagi kita lihat latar belakang pendidikan sebagian kader tidak bergelar pendidikan kesehatan, tetapi tamatan SD,”harapnya.
Sementara, Kader Posyandu Sumber Ikhlas Mangngimpuru, Kelurahan Watang Bacukiki, Kecamatan Bacukiki, Nurhayati mengungkapan, menjadi seorang kader posyandu bukanlah hal yang mudah, kadang dia harus meninggalkan beberapa pekerjaan rumahnya hanya untuk turun melakukan sosialisasi agar anak-anak mendapatkan hak imunisasi.
“Dibayarpun tak seberapa, bekerja sebagai kader posyandu dari tahun 90-an sampai dengan sekarang. Upah yang diberinya pun diterima ikhlas demi melihat anak–anak di sekitarnya sehat.
“Insentif tidak seberapa, dulu sebulan Rp25 ribu/bulan, naik Rp50 ribu, dan sekarang alhamdulillah naik Rp100 ribu/ bulan,”ungkap Nur, sapaan Ibu dua orang anak ini.
Namun kata Nurhayati, pihaknya tidak menjadikan hal itu sebagai acuan. Dirinya tetap bersemangat melaksanakan tugas selain sebagai aktivis juga sebagai kader.
“Bahkan saat gencar–gencarnya sosialisasi kampanye Imunisasi MR, tetap aktif melaksanakan tugas bersama kader lainnya di wilayahnya,” ujarnya menerangkan.
Beberapa kali juga mendapat penolakan di masyarakat, namun hal itu tak memutuskan harapannya untuk terus melakukan kampanye membantu pemerintah menyukseskan pelaksanaan imunisasi MR.
“Awal kampanye, ada yang mau, ada yang tidak, karena imunisasi MR dianggap haram. Tetapi kami bujuk terus, sampai diusir, ditutupkan pintu, tapi saya tidak pernah putus asa, dan akhirnya mereka mau anaknya diberi imunisasi MR dengan segala cara yang dilakukan dan mengatakan, tidak mungkin pemerintah memberikan program yang merugikan, tetapi hanya mau menyehatkan anak,” beber kader tamatan Sekolah Dasar (SD) ini.
Terkait Imunisasi MR, Dokter Spesialis Anak RSUD Andi Makkasau Parepare, dr. Yulianty menambahkan, Imunisasi MR merupakan salah satu imunisasi wajib dari beberapa imunisasi yang diprogramkan pemerintah. Tujuannya untuk memberantas penyakit-penyakit yang memang insidennya tinggi di Indonesia. Penyakit seperti, MR, campak dan rubella.
Seiring berjalannya waktu, ada semacam indikasi bahwa orangtua tidak percaya imunisasi MR ini, dengan adanya selintingan terkena cacat, lumpuh, tetapi itu belum ada kejadian atau kasus Kejadian Iputan Pasca Imunisasi (KIPI) menyangkut imunisasi MR.
Untuk kasus imunisasi MR kata dr. Yulianty, belum ditemukan kasus yang begitu fatal pasca dilakukan imunisasi MR, demam ada, namun kata dia, gejala demam merupakan hal normal sebagai salah satu reaksi imunisasi yang masuk ke dalam tubuh anak.
“Tingkat imunitas anak berbeda-beda, jadi saya bisa mengatakan anak yang mempunyai imunitas yang cukup baik kadang dia tidak demam. Tetapi apakah gizi anak kurang mungkin bereaksi dengan imunisasi itu, tetapi itu tidak masalah, itu normal-normal saja,” ujarnya menguraikan.
Awal kampanye imunisasi juga kata dr. Yulianty, ada beberapa penolakan dari masyarakat, tetapi penolakan tidak berdasar, lantaran terpengaruh dengan anak-anak yang lain.
“Ada orangtua yang tidak ingin diimunisasi akhirnya orang tua yang lainnya pun ikut-ikutan termasuk isu yang mengatakan bahwa itu haram dari Fatwa MUI yang beredar saat dilakukan kampanye.
“Namun seiring waktu, orangtua mulai sadar, sudah terbuka pikiran tentang imunisasi MR ini, sudah berkurang penolakan itu, dan menurut saya hal itu tidak lain dari peran kader posyandu yang merupakan perangkat yang paling bersentuhan dengan masyarakat, kader salah satu paling dekat dengan masyarakat,” timpal Yulianty. (Kalmasyari)