MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Pesisir Lantebung di Kelurahan Bira, Kecamatan Tamalanrea, menjadi satu-satunya hutan mangrove di Kota Makassar yang masih tersisa. Wajar saja, saat hutan bakau itu hendak disulap jadi kawasan industri, ramai-ramai ditentang oleh masyarakat dan pegiat lingkungan hidup.
Salah seorang tokoh penentang konversi hutan mangrove di wilayah itu adalah Ade Saskia Ramadina. Seorang gadis tanggung, yang menghabiskan masa remajanya melakukan konservasi hutan bakau di Lantebung.
Perempuan kelahiran 9 November 2000 ini, mulai peduli terhadap kelestarian mangrove sejak tahun 2018.
Minimnya kepedulian generasi muda di daerah tempat tinggalnya, menjadi pemicu Ade untuk terjun melibatkan diri.
“Dulu saya tidak punya cita-cita untuk aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial di bidang lingkungan hidup. Selepas tamat SMK, baru saya tertarik,” ujar lulusan SMK Penerbangan itu, Minggu (9/1/2022).
Ade mengatakan, saat lulus SMK, kondisi di Lantebung yang juga dikenal sebagai salah satu kawasan ekowisata mangrove butuh sentuhan dari pemuda sekitar. Sebab saat itu hanya mahasiswa dari luar yang sering masuk melakukan kegiatan pelestarian.
Namun seiring waktu, aktivitas mahasiswa yang dimaksud perlahan berkurang. Atas dasar itulah, Ade mulai mempelajari sendiri tentang tumbuhan mangrove.
“Saya berpikir, orang lain peduli sementara kami yang lahir dan besar di sini tidak berbuat apa-apa. Makanya saya mulai pelajar mangrove, mulai dari jenis-jenisnya dan cara menanamnya,” urai Ade.
Satu tahun berlalu, sekitar 2019, Ade bersama dua orang temannya kemudian mulai membentuk satu komunitas yang dinamai Ikatan Keluarga Lantebung (IKAL). Alasan mendirikan komunitas untuk menyatukan pemuda-pemudi Lantebung.
“Jadi kami dirikan komunitas namanya IKAL. Itu anggotanya sekarang sudah sekitar 30 orang lebih. Kami buat kegiatan-kegiatan penghijauan, literasi, juga beberapa kegiatan lainnya,” ujarnya.
Dalam perjalannya, Ade mengaku sempat mendapat banyak tantangan. Salah satunya kepercayaan warga sekitar. Saat itu, dia dan teman-temannya sering dianggap remeh sebab hal yang dilakukan dinilai tidak berdampak banyak terhadap warga sekitar.
Termasuk, kata Ade, di awal-awal orang tuanya juga sempat tidak mendukung. Namum berbekal kegigihannya ia pun berhasil meyakinkan kedua orang tuanya.
“Jadi orang tua juga sempat tidak mendukung, apalagi saya tunggal. Tapi saya tetap optimis dan di situlah jalan terbuka, saya dapat beasiswa di STITEK Nusindo, jurusan Teknik Lingkungan. Waktu dapat beasiswa tahun 2020 itu, orang tua percaya dan sekarang mendukung penuh,” imbuh dia.
Tantangan lain yang dialami Ade dan kawan-kawannya adalah melawan pengusaha yang merusak kawasan hutan mangrove Lantebung. Sekitar tahun 2020, salah satu perusahaan swasta melakukan aktivitas proyek dengan menggunakan alat berat. Merusak dan menghancurkan pohon mangrove yang sudah tumbuh puluhan tahun.
Ade dan kawan-kawannya kemudian melakukan perlawanan dengan cara memboikot alat berat tersebut. Selain itu upaya hukum, kata dia, juga ikut ditempuh, sehingga di tahun 2021 perusaahan swasta itu berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) didenda sebesar Rp1 miliar.
“Jadi waktu alat beratnya masuk kai sempat boikot, kami pasangi spanduk dibantu teman-teman mahasiswa. Teman-teman media juga bantu dari luar dengan pemberitaan. Kasusnya berlanjut sampai ke pengadilan,” kat Ade.
Anak nelayan dari pesisir utara Kota Makassar itu menceritakan, pada tahun 2021, komunitasnya mendapat dukungan dana dari Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL) sekitar Rp50 juta.
Uang puluhan itu, kata Ade, mereka dapat setelah menggelar kegiatan penghijauan beberapa kali. Salah satu kegiatan penghijauan yang tiap tahunnya mereka gelar adalah Hutan Merdeka.
“Jadi Hutan Merdeka itu kami gelar setiap bulan Agustus, sudah tiga tahun digelar. Atas dasar itu mungkin kami dinilai aktif makanya diberi bantuan dana. Rencananya dana itu mau kami gunakan untuk ruang baca, bank sampah, juga untuk usaha mandiri pemuda di Lantebung,” imbuh Ade.
Pada prinsipnya, kata Ade, segala usaha yang ditekuni akan membuahkan hasil. “Bagi saya hidup itu dijalani saja. Apa yang kami kerjakan diseriusi dan fokus. Insyaallah ada jalan,” kata dia.
Saat ini, Ade mengaku, ia dan teman-temannya dikomunitas aktif melaksanakan patroli di wilayah sekitar 12 hektare itu. Memantau pertumbuhan mangrove juga memantau penebangan mangrove yang belakangan ini marak terjadi.
“Sekarang kami rutin patroli karena kemarin sempat ada penebangan mangrove besar-besaran untuk kepentingan pembangunan resort,” bebernya.
Ade berharap pemerintah setempat bisa memberi mereka dukungan atas apa yang mereka kerjakan. Kolaborasi komunitasnya dengan pemerintah setempat dinilai bisa jadi jalan keluar dalam melestarikan lingkungan.
“Kami harap pihak kelurahan atau kecamatan beri dukungan,” harapnya.
Hari ini, bertepan dengan Hari Sejuta Pohon Sedunia, Ade dan kawan-kawannya akan melaksanakan penanaman mangrove jenis Burgueria, yang bibitnya diambil dari Kabupaten Majene.
Pada prinsipnya kata dia, bukan hanya soal menanam tapi juga melawan. Atas dasar itulah mereka kolaborasi sehingga mendapat kesepakatan prinsip yaitu “Melawan dengan Menanam”. (*)