MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Direktur Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, Komisaris Besar Widoni Fedri menyatakan kasus korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek, Kabupaten Tana Toraja telah tahap dua (pelimpahan berkas dan penyerahan tersangka) ke Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.
“Tahap dua saya lupa (kapan), tapi sudah,” kata Widoni, Rabu (12/1/2022).
Hanya saja pernyataan Widoni dibantah Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, Muhammad Idil. Menurut dia, hingga saat ini, penyidik Polda belum menyerahkan tersangka dan berkas acara pemeriksaan ke jaksa penuntut.
“Belum ada tahap dua,” beber Idil.
Kasus ini diusut Polda Sulsel sejak 2012. Dalam perjalanannya kasus tersebut ditingkatkan ke tahap penyidikan dan menetapkan delapan tersangka pada 2013. Kasus ini diketahui sejak dari pertengahan tahun 2021 sudah dinyatakan P21.
Dari hasil penyidikan para tersangka dianggap melanggar pasal 2 ayat (1) sub pasal 3 UU RI Nomor 31 tahun 1999 Jo UU RI Nomor 20 tahun 2001 atas perubahan UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Dalam perkara ini indikasi korupsi ditemukan pada kesalahan pembayaran dalam proyek pembebasan lahan yang dikuatkan oleh putusan perdata dari pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan, tetapi tak mendapatkan haknya. Malah pihak yang bukan pemilik lahan justru menerima pembayaran ganti rugi.
Dari hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulawesi Selatan (Sulsel) disimpulkan terjadi kerugian negara sebesar Rp21 miliar dari total anggaran Rp 38 miliar yang digunakan dalam proyek pembebasan lahan bandara tersebut.
Meski belakangan nilai kerugian itu dianulir setelah dilakukan audit ulang oleh BPKP Sulsel. Kerugian ditetapkan hanya senilai Rp7 miliar lebih. Anggaran proyek sendiri diketahui bersumber dari dana sharing antara APBD Kabupaten Tana Toraja dan APBD Provinsi Sulsel.
Wakil Ketua Internal Anti Corruption Committe (ACC) Sulsel, Anggareksa PS meminta kedua institusi hukum itu bersikap terbuka dalam pengusutan kasus itu.
“Kedua institusi penegak hukum tersebut diharapkan untuk memberikan informasi yang jelas kepada publik terkait proses penanganan kasus korupsi, jangan sampai ada informasi yang saling bertolak belakang antara aparat penegak hukum,” sebutnya.
Menurut Anggareksa, kasus Bandara Toraja dinilai kasus yang penanganannya paling aneh dan memecahkan rekor kasus korupsi penanganannya paling lama.
“Polda Sulsel dan Kejati Sulsel harus melakukan koordinasi dengan baik agar kasus ini bisa segera disidangkan ke pengadilan tipikor Makassar,” ujar dia. (*)