MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar operasi tangkap tangan (OTT) dua kepala daerah, dalam sepekan ini. Gerak cepat penyidik KPK seakan tak membawa efek jera bagi kepala daerah untuk berhenti menggarong uang negara.
Penangkapan Bupati Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Abdul Gafur Mas’ud menambah daftar panjang kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Gafur diciduk penyidik KPK pada Rabu sore, (12//1/2022) atas dugaan penerimaan suap dan gratifikasi.
Sepekan sebelumnya, KPK juga menangkap Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi. Tersangka diduga menerima suap dari pembebasan lahan dan lelang jabatan di Pemerintahan Kota Bekasi.
Fenomena masih banyaknya kepala daerah yang terjerat korupsi, khususnya suap dan gratifikasi, dinilai oleh pakar hukum dari Universitas Hasanuddin, Amir Ilyas sebagai imbas dari mahalnya biaya politik dalam pemilihan kepala daerah.
Menurut dia, seorang calon kepala daerah yang akan bertarung membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Itu sebabnya, kata Amir, mereka kerap memanfaatkan cukong untuk mendapatkan dana segar sebagai cost politik.
“Saat sudah terpilih, maka politik transaksional antara cukong pengusaha dengan kepala daerah tidak dapat dihindari. Suap menyuap antara kepala daerah dengan cukong melalui pemberian jatah proyek pun selalu terjadi,” ujar Amir.
Menurut Amir, seharusnya ada sistem yang diubah sehingga biaya politik tidak begitu mahal. Dengan begitu, kasus-kasus serupa dapat diminimalisasi.
“Harus ada keseriusan untuk dilakukan penindakan. Bahkan pada proses pemilihan, bagi calon atau paslon yang terbukti melakukan mahar politik dan politik uang harus didiskualifikasi,” imbuh Amir.
Lebih jauh Amir menyinggung gencarnya KPK mengincar para kepala daerah. Menurut dia, kinerja KPK saat ini kerap kali dihubungkan dengan komisioner KPK sebelum-sebelumnya. Apalagi, kata dia, kinerja KPK sering diragukan pascarevisi undang-undang KPK yang dianggap memperlemah lembaga antirasuah itu.
“Pada saat yang sama, sebagian kalangan membandingkan pada jumlah pejabat yang berhasil OTT atau ditersangkakan oleh KPK,” ujar dia.
Padahal, sambung Amir, berhasilnya penegakan hukum tidak diukur berdasarkan jumlah orang yang ditetapkan tersangka.Tapi, diukur seberapa efektif angka pelaku korupsi ditekan.
Itulah sebabnya tujuan utama dihadirkannya KPK yaitu untuk melakukan pencegahan tindak pidana korupsi. Untuk tujuan penindakan sesungguhnya merupakan tujuan kedua dihadirkannya lembaga KPK.
“Kami mendukung KPK dalam melakukan proses penindakan untuk kepala daerah yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Tetapi menjadi kewajiban pula bagi KPK untuk melakukan pembenahan terkait dengan banyaknya kepala daerah melakukan korupsi. terutama pada aspek monitoring kepada setiap kepala daerah,” jelas Amir.
Adapun guru besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Profesor Hamzah Halim berpandangan bahwa KPK adalah lembaga superbodi yang punya power dan kewenangan yang jauh lebih besar dari lembaga penegak hukum lainnya. Menurut dia, harusnya KPK dengan kelebihan itu lebih memprioritaskan penanganan kasus-kasus korupsi kelas kakap.
“Lebih fokus memberantas kasus yang melibatkan penguasa besar, petinggi parpol dan pengusaha besar,” ujar Hamzah.
Menurut dia, kasus-kasus yang kecil di daerah cukup didorong lembaga kejaksaan dan kepolisian. KPK, lanjut Hamzah, cukup melakukan supervisi. “Ini demi menjaga kecurigaan publik bahwa KPK hanya berani dengan kekuasaan di daerah dengan OTT kasus kecil,” imbuh dia.
Hamzah menilai, kinerja KPK sebagai lembaga besar tidak sebanding dengan penangan kasus korupsi yang ditangani.
“Coba teruskan keberanian yang dilakukam beberapa waktu lalu dengan menangkap pejabat setingkat menteri, petinggi partai, atau pengusaha besar,” tantang Wakil Dekan I Fakultas Hukum ini.
Direktur Anti-Corruption Committe (ACC) Sulawesi, Abdul Kadir Wokanubun mengatakan, tren korupsi kepala daerah dipengaruhi sejumlah faktor. Salah satu yang paling kontras adalah masalah ongkos politik yang begitu tinggi saat maju di kontestasi pilkada.
“Pertama ini soal mahalnya biaya politik, makanya ketika menjabat mereka ini mencari cara agar bisa mendapatkan kembali biaya yang dikeluarkan sebelumnya,” kata Kadir.
Kedua, kata Kadir, terletak pada lemahnya pengawasan internal, dalam hal ini kendali Kementerian Dalam Negeri. Seharusnya, dengan maraknya penangkapan kepala daerah oleh KPK jadi acuan Kemendagri untuk bergerak meningkatkan pengawas pada seluruh kepala daerah.
“Maraknya penangkapan kepala daerah juga harus disertai pengawasan lebih ketat dari instansi itu. Tapi itu tidak berjalan maksimal,” ucap Kadir.
Lebih jauh dia mengatakan, faktor ketiga penyebab kepala daerah korupsi disebut masih berkaitan dengan ongkos politik yang mahal. Saat maju kerap mendapat sokongan dana dari para pengusaha sehingga saat menjabat ada hal yang harus diberikan.
“Juga ada hubungan simbiosis dalam hal pengadaan barang dan jasa. Pengadaan barang dan jasa yang tentunya diberikan pada rekanan-rekanan yang berkonstribusi terhadap pemenangan sat pilkada,” kata dia.
Belum lagi, faktor lain seperti belum maksimalnya upaya pencegahan yang dilakukan KPK itu sendiri. Supervisi pencegahan di Indonesia dinilai belum begitu maksimal terhadap pencegahan korupsi kepala daerah.
Termasuk dari sejumlah putusan kasus korupsi di pengadilan yang kadang memberikan hukuman jauh dibawah tuntutan yang seharunya diberikan pada pelaku kejahatan korupsi.
“Rata-rata putusan tindak pidana korupsi untuk kepala daerah itu tidak maksimal putusannya. Contoh kasus gubernur nonaktif Nurdin Abdullah yang putusannnya sangat rendah. Ini tidak menimbulkan tidak efek jera pada pejabat atau kepala daerah (calon koruptor),” sebutnya.
Selama ini penindakan kasus korupsi yang hanya dilakukan oleh KPK juga ditanggapi Kadir. Kata dia, aparat penegak hukum dalam hal ini kejaksaan dan kepolisian di daerah nampak tak begitu punya taring dalam menindak kepala daerah yang di duga terlibat kasus korupsi.
Kedekatan antara kepala daerah dengan pimpinan kedua lembaga hukum tersebut dinilai juga jadi faktor minimnya penindakan kepala daerah yang dilakukan oleh kejaksaan dan kepolisan.
“Kami juga sering mengkritisi terkait pemberian pemberian hibah pada dua lembaga ini oleh pemerintah daerah karena itu akan jadi faktor juga (tidak ditindak). Bahkan berpengaruh juga dalam penanganan perkara,” terangnya.
Untuk itulah, kata kadir, selama ini ACC Sulawesi selalu mengkritisi pemberian anggaran pada lembaga kejaksaan dan kepolisan.
“Ada konflik kepentingan yang harus dihindari. Anggaran APH ini kan vertikal. Tapi, faktanya mereka juga terima anggaran dari daerah. Ini semua tentu punya keterkaitan dengan minimnya penanganan perkara di level kepala daerah, meskipun ada faktor lain tapi bagi kami itu salah satu faktor yang mempengaruhi,” ujar Kadir. (*)