MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Peringatan Hari Gizi Nasional tahun ini menyorot soal pencegahan stunting dan obesitas. Dua hal ini masih jadi persoalan yang belum selesai, bukan hanya di Indonesia, bahkan menjadi fokus secara global.
Momentum hari gizi mengingatkan akan pentingnya kesehatan melalui pemenuhan gizi seimbang.
Mempelajari sejarah gizi di Indonesia, upaya perbaikan gizi masyarakat telah dimulai sejak tahun 1950, yaitu saat Menteri Kesehatan Dokter J Leimena, Bapak Gizi Indonesia mengangkat Prof. Poorwo Soedarmo sebagai kepala Lembaga Makanan Rakyat (LMR).
Hari Gizi Nasional (HGN) diselenggarakan untuk memperingati dimulainya pengkaderan tenaga gizi Indonesia dengan berdirinya Sekolah Juru Penerang Makanan oleh LMR pada tanggal 25 Januari 1951.
Sejak saat itu pendidikan tenaga gizi terus berkembang pesat di banyak perguruan tinggi di Indonesia. Kemudian disepakati bahwa tanggal 25 Januari di peringati sebagai Hari Gizi Nasional Indonesia.
Hari Gizi Nasional pertama kali diadakan oleh Lembaga Makanan Rakyat (LMR) pada pertengahan tahun 1960-an, kemudian dilanjutkan oleh Direktorat Gizi Masyarakat sejak tahun 1970-an hingga sekarang.
Berdasarkan survei Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, prevalensi stunting di Indonesia sebesar 24,4 persen. Angka ini masih jauh dari angka prevalensi yang ditargetkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) 2020-2024, yakni 14 persen.
Sementara itu, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi obesitas pada balita sebanyak 3,8 persen dan obesitas usia 18 tahun ke atas sebesar 21,8 persen. Target angka obesitas di 2024 tetap sama 21,8 persen, diupayakan angka ini diarahkan untuk mempertahankan obesitas tidak naik.
Nutrisionis PKM Makkasau, Kota Makassar, Faisal M mengatakan upaya pencegahan stunting atau masalah kurang gizi kronis pada anak perlu dilakukan sedini mungkin, bahkan sejak anak berada dalam kandungan.
“Pemenuhan gizi pada ibu hamil sangat penting karena kondisi pada saat janin mulai terbentuk, otomatis tumbuh kembang otak janin juga sudah dimulai, utamanya pada jaringan sel-sel saraf otak,” ucap Faisal, Rabu (26/1/2022).
Setelah anak lahir, pemenuhan gizi dilanjutkan dengan pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif hingga usia 6 bulan. Kemudian dilanjutkan dengan pemberian makanan pendamping ASI hingga usia 2 tahun.
“Momen inilah yang dikenal dengan periode emas atau golden period. Sehingga gizi anak harus benar-benar dipenuhi karena jika tidak optimal, inilah yang menyebabkan terjadinya masalah tumbuh kembang. Gizi harus optimal untuk kecerdasan otak,” jelasnya.
Selain pemenuhan gizi, Faisal juga menyebut faktor lain yang menjadi penyebab stunting. Yakni persoalan sanitasi dan higienitas lingkungan tempat tinggal.
Meski pemenuhan gizi terpenuhi, kata dia, jika anak tumbuh kembang di lingkungan yang kurang bersih, maka anak rentan terjangkit penyakit infeksi.
“Kalau gizinya bagus tapi ada infeksi penyakit, akan menyebabkan berat badan menurun secara perlahan,” ungkapnya.
Lebih jauh, Faisal menerangkan bahwa persoalan gizi juga berkaitan dengan obesitas. Yakni penumpukan lemak yang berlebihan akibat ketidakseimbangan asupan energi (energy intake) dengan energi yang digunakan (energy expenditure) dalam waktu lama.
Seringkali, masyarakat meyakini bahwa obesitas terjadi karena faktor keturunan. Nyatanya, obesitas terjadi akibat pola makan yang tidak teratur.
“Jadi pola makan yang baik itu harus tiga kali makan makanan pokok, ditambah 2 kali makanan ringan atau snack. Yang biasa terjadi di masyarakat yaitu pola makan yang tidak beraturan,” katanya.
Lumrah terjadi di kalangan masyarakat, jika porsi makanan pokok sudah terpenuhi, terkadang ditambah lagi makanan lain dengan kandungan kalori berlebih yang akhirnya menyebabkan terjadi penimbunan kalori di dalam tubuh.
“Inilah yang menyebabkan obesitas. Kemudian malas olahraga dan tidak disertai konsumsi pangan yang kaya serat. Padahal makanan kaya serat ini bisa membantu proses metabolisme dalam tubuh,” urainya.
Faisal mengatakan, pemenuhan gizi sebenarnya sangat bisa dilakukan tanpa harus mengonsumsi makanan yang mahal. Makanan yang tersedia di sekitar kita sangat mungkin untuk memenuhi kebutuhan gizi tubuh.
“Gengsi masyarakat itu kadang terlalu tinggi. Makanan gizi seimbang sebenarnya tidak mahal, kok. Cukup dengan adanya makanan pokok, lauk pauk dari protein hewani dan nabati kemudian ditambah buah, itu sudah cukup,” imbuh dia.
Duta Pangan Bijak Nusantara, Rina Agustina mengungkapkan, potensi makanan di Indonesia sangat luar biasa. Bahkan Indonesia tercatat di urutan kedua sebagai negara dengan keanekaragaman makanan.
Berbagai jenis makanan yang dibutuhkan sumber gizinya ada di Indonesia. Seperti karbohidrat, lalu protein yang tinggi dan berkualitas hampir 75 jenis ada di Indonesia, kemudian sayur dan buah lebih 300 jenis. Ditambah lagi sumber protein nabati dan sumber protein hewani.
“Lantas yang jadi pertanyaan adalah, kenapa banyak orang kekurangan gizi? Kenapa obesitas meningkat padahal potensi makanan di Indonesia luar biasa? Ini semua jadi pertanyaan, menapa ini tidak dimanfaatkan untuk bisa mengoptimalkan gizi kita?” ungkapnya dalam webinar nasional Transformasi Sistem Pangan Melalui Pendidikan, yang digelar Pangan Bijak Nusantara, baru-baru ini.
Di sisi lain, kata Rina, saat ini kita juga dihadapkan pada fenomena food loss. Bahkan, Indonesia kembali berada di urutan kedua sebagai negara dengan penyumbang sampah makanan terbesar di dunia.
“Ini jadi pertanyaan lagi, kok ada yang kurang gizi tapi banyak makanan dibuang?” katanya.
Menurut Rina, ada perubahan perilaku yang terjadi di masyarakat dari konsumsi makanan tradisional yang merupakan sumber nabati dan hewani, ke arah westernized atau kebarat-baratan yang banyak mengandung unsur gula dan lemak.
Sehingga, menurutnya yang perlu dilakukan adalah mengubah pola makan menjadi pola makanan sehat yang bersumber dari sistem pangan berkelanjutan.
Salah satunya dengan Planetary Health Diet. Yakni jenis diet yang fokus terhadap memperbanyak konsumsi makanan nabati seperti kacang-kacangan, buah-buahan, dan sayuran, sambil mengurangi setengah konsumsi daging dan asupan gula.
“Sebaiknya, 50 persen makanan kita itu berupa sayur dan buah. Masalahnya kemudian adalah banyak yang kurang suka sayur dan buah. Makanan lokal kita banyak, lebih segar juga sehingga kandungan gizinya lebih besar, bagus, dan tentunya lebih murah. Distribusinya ke masyarakat juga tidak lama sehingga kandungan gizinya cukup kuat,” beber Rina.
Akademisi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini menambahkan, selain sayur dan buah, pemenuhan gizi juga diperoleh dari sumber protein baik nabati maupun hewani. Meski dalam konteks kelestarian pangan, harus lakukan secara moderate dan dikurangi.
“Dan perlu juga karbohidrat kompleks. Jangan hanya nasi putih melulu. Ada berbagai macam jenis nasi, seperti nasi merah dan nasi hitam,” ujar dia. (*)