MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Ketersediaan lahan basah di Kota Makassar dari tahun ke tahun makin terkikis. Pembangunan kota yang kian meluas menjadikan lahan basah benar-benar dijadikan sebagai ‘lahan basah’ untuk dijadikan kawasan permukiman atau real estate.
Setiap tanggal 2 Februari diperingati sebagai Hari Lahan Basah Sedunia atau World Wetlands Day. Momentum ini sejatinya dijadikan untuk meningkatkan kesadaran nasional dan global tentang pentingnya lahan basah bagi ekosistem.
Hari Lahan Basah Sedunia diperingati sebagai tindak lanjut telah disepakati dan ditandatanganinya suatu Konvensi Internasional tentang lahan basah, tepatnya tanggal 2 Februari 1971 di kota Ramsar, Iran. Konvensi tersebut kemudian dikenal sebagai Konvensi Ramsar.
Mulanya, konvensi ini hanya fokus pada masalah burung air termasuk burung air migran, lalu berkembang kepada konservasi ekosistem lahan basah termasuk keanekaragaman hayati di dalamnya. Bahkan saat ini lebih bermulti fokus menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia.
Melansir worldwetlandsday.org, hampir 90 persen lahan basah dunia telah terdegradasi sejak tahun 1700-an, dan lahan basah menyusut tiga kali lebih cepat daripada hutan.
Padahal, lahan basah adalah ekosistem yang sangat penting yang berkontribusi pada keanekaragaman hayati, mitigasi dan adaptasi iklim, ketersediaan air tawar, ekonomi dunia, dan banyak lagi.
Tahun ini, Hari Lahan Basah Sedunia mengusung tema Wetlands Action for People and Nature atau Aksi Lahan Basah untuk Manusia dan Alam. Tema ini diambil untuk menyoroti pentingnya tindakan guna memastikan konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dari lahan basah untuk kehidupan manusia dan keberlangsungan kesehatan planet.
Lahan basah merupakan suatu wilayah yang tanahnya tergenang air karena keadaan tanah yang jenuh terhadap air baik secara permanen maupun musiman. Genangan air tersebut biasanya dapat berupa air mengalir ataupun diam.
Umumnya, lahan basah yang ditemukan di Indonesia yaitu seperti endapan tanah rendah sesudah air pasang surut, genangan air, mangrove (hutan bakau), lahan gambut, rawa-rawa, hingga area persawahan.
Banyak masyarakat yang menilai lahan basah sebagai wilayah yang tidak menarik, bahkan dianggap berbahaya. Namun pada kenyataannya, lahan basah memiliki fungsi yang sangat esensial, baik dari segi ekologis maupun ekonomis.
Bagaimana dengan Kota Makassar? Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Sulawesi Selatan, Muhammad Al Amin mengatakan, fungsi ekologis paling nyata yang bisa dilihat dari keberadaan lahan basah ialah sebagai wilayah serapan air.
Lahan basah berfungsi melindungi masyarakat lokal dari berbagai bencana yang kerap terjadi, seperti banjir maupun abrasi. Hal ini terjadi karena lahan basah mampu mengelola dan menyerap air hujan secara maksimal.
“Di musim hujan, lahan basah itu bisa berfungsi sebagai resapan air untuk menampung air hujan, sehingga meminimalisir terjadinya bencana banjir. Daerah-daerah itu penting untuk menjaga debit air dan kondisi air tanah di Makassar,” ucap Amin.
Selain itu, lahan basah juga mempunyai potensi sebagai penyokong ekonomi lokal. Dengan menggunakan lahan basah secara bijaksana maka lahan basah bisa menjadi sumber mata pencaharian seperti bernelayan, bertani, ataupun bertambak.
Sebut saja hutan bakau atau mangrove yang dapat menjadi salah satu sumber kesejahteraan masyarakat. Tanaman bakau banyak disukai oleh ikan-ikan kecil dan kepiting. Sehingga, masyarakat yang bermukim di sekitar wilayah hutan bakau banyak membudidayakan kepiting.
Begitu pentingnya keberadaan lahan basah, WALHI meminta pemerintah kota untuk memastikan perlindungan terhadap lahan-lahan tersebut.
Sejauh ini, kata Amin, pihaknya menilai beberapa lahan basah, khususnya daerah rawa mulai disasar untuk dijadikan kawasan permukiman atau real estate.
“Kami berharap itu tidak dilakukan. Lahan basah itu bisa jadi sarana publik penting karena punya fungsi ekologis yang tinggi,” ungkapnya.
Lebih jauh, Amin meminta pihak Pemkot untuk menaruh perhatian lebih terhadap keberadaan lahan basah. Melalui revisi Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dia berharap lahan basah dijadikan area lindung dan dibebaskan dari rencana pembangunan.
“Jadi Perda RTRW harus memastikan bahwa lahan basah di Makassar itu tetap eksis, tetap ada, tanpa harus dikonversi jadi bangunan fisik,” pungkasnya.
Sayangnya, sejauh ini pemerintah kota diketahui belum memiliki data pasti terkait luasan lahan basah yang ada. Kepala Bidang RTH Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Makassar, Novi mengatakan, pihaknya tidak secara keseluruhan menghitung hal tersebut.
Yang dikelola pihaknya hanyalah sebagian besar yang tergolong lahan basah yang juga masuk dalam kategori ruang terbuka hijau .
Lahan pertanian misalnya, tercatat seluas 4.268 hektare, dengan rincian sawah seluas 2.907 hektare dan ladang sebesar 1.360 hektare.
Kemudian untuk kawasan bakau atau mangrove, tercatat seluas 55,25 hektare. Total luasan ini tersebar di beberapa kecamatan yakni Biringkanaya, Manggala, Panakkukang, Tallo, dan Tamalanrea.
“Untuk kawasan rawa itu yang tercatat di kami hanya di Kelurahan Antang, Kecamatan Manggala, dengan luasan 45,15 hektare,” ungkap Novi.
Sementara itu, terkait lahan basah yang kerap beralih fungsi, Kepala Kepala Dinas Tata Ruang, Fahyuddin menerangkan, pihaknya cukup concern dalam hal ini, khususnya pada daerah resapan air.
“Persoalan daerah resapan ini perlu dilihat apakah dia masuk dalam kategori ruang terbuka hijau (RTH) atau pun memang menjadi tempat yang tidak diperbolehkan ada pembangunan di situ,” katanya.
Dia menjelaskan, setiap kali ada permohonan pembangunan di wilayah resapan, pihaknya bakal melakukan pengkajian terkait kesesuaian lahan melalui Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) pemohon.
“Kalau dimasukkan di sistem, di situ bisa dilihat apakah di lokasi itu bisa jadi perumahan, atau tidak. Atau kalau itu merupakan giat pembangunan proyek, baik jalur kereta api atau jalan, tapi kalau itu masuk RTH, tidak kami beri izin,” jelasnya.
Namun sebaliknya, jika tak ada aturan yang dilanggar, maka izin bisa diberikan, melalui rapat tim koordinasi penataan ruang daerah (TKPRD), yang di dalamnya ada pihak dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH), Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (DPKP), Dinas Tata Ruang, hingga akademisi.
“Makanya harus selektif, disesuaikan dengan aturan. Kalau sesuai dan dalam aturan itu diperbolehkan, apalagi jika kepemilikannya jelas, tentu diberi izin,” pungkasnya.
Mengingat bahwa lahan basah sangat vital bagi kehidupan, maka diperlukan upaya pelestarian dan pemulihan lahan basah sebagai penjaga keseimbangan ekosistem, meredam risiko bencana, hingga menjadi sumber mata pencaharian masyarakat. (*)