MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Jarum jam saat itu menunjukkan pukul 07.30 wita. Hiruk pikuk mulai terdengar di sebuah gedung lawas di Jalan Kapten Pierre Tendean Blok M, Nomor 7, Kota Makassar.
Beberapa orang mulai usia anak hingga remaja, berlalu lalang dengan seragam berwarna senada, hitam-putih. Mereka memasuki beberapa ruangan kelas yang ada di gedung tersebut.
Mereka tak dapat melihat. Namun mereka hafal betul harus melangkah dan jalan mana yang harus mereka lalui. Kekuatan intuisi menuntun mereka di setiap jejak langkah.
Beberapa yang lain ada yang bercengkerama. Ada pula yang terlihat serius berdiskusi di koridor. Entah apa yang didiskusikan? Tapi, samar-samar terdengar beberapa nama pejabat disebutkan.
Aktivitas seperti itu sudah jadi pemandangan sehari-hari yang dijumpai Nurhayati, 60 tahun. Nurhayati merupakan Ketua Yayasan Pembinaan Tunanetra Indonesia atau SLB-A YAPTI.
Selain itu, dia juga bekerja sebagai guru di Sekolah Luar Biasa Bagian Tunanetra tersebut. Nurhayati bukan seorang penyandang tunanetra.
“Saya di sini jadi guru yang paling lama mengajar. Sekitar 30 tahunan,” kata dia saat dijumpai di ruang kantor sekolah.
Kurang 5 menit, jam menunjukkan pukul 08.00. Dengan menggenggam beberapa lembaran kertas, Nurhayati berjalan menuju salah satu ruang kelas yang berada di sudut bangunan.
Ruang kelas itu terlihat layaknya sebuah kelas pada umumnya. Berbalut cat tembok putih yang mulai terkelupas di beberapa bagian, dipadankan dengan gorden berwarna hijau yang menggantung di jendela di sisi kanan ruangan.
Setiap sisi dinding dihiasi dengan beberapa ornamen kerajinan tangan. Nampak, pula beberapa foto pahlawan dan foto figur presiden RI dan wakilnya. Tak ketinggalan, pataka bendera merah putih juga berdiri tegak di sisi meja guru.
Ruang kelas itu tidak cukup besar. Di dalamnya cuma ada tiga pasang meja dan bangku yang hanya muat ditempati 6 orang siswa. Ditambah satu meja dan kursi guru di depan.
Namun, sepanjang pandangan mata, tak terlihat satupun papan tulis, karena memang tidak cukup dibutuhkan dalam proses belajar mengajar di kelas itu.
Tepat pukul 08.00 wita, Nurhayati mulai membuka suara kepada 6 orang siswanya. Dia secara telaten menjelaskan materi yang telah dia siapkan sebelumnya.
Siswanya pun dengan khusuk menyimak. Mengandalkan indera pendengaran yang dimiliki. Sesekali, aktivitas belajar mengajar diselingi tanya jawab untuk mengukur kemampuan siswa.
Tak jarang, Nurhayati melontarkan candaan yang kemudian diikuti gelak tawa para siswa.
Jelang pukul 10.00, Nurhayati menyudahi aktivitas mengajarnya. Siswa satu persatu meninggalkan ruang kelas untuk rehat sejenak sebelum melanjutkan pembelajaran selanjutnya.
Menjadi pengajar penyandang tunanetra bukan persoalan mudah. Sebagai pengajar mereka dituntut untuk bisa mengerti keterbatasan siswa. Selain itu, juga dituntut untuk mampu menguasai huruf braille, sistem penulisan bahasa yang digunakan oleh tunanetra.
“Selain pelajaran umum, siswa itu juga kami ajari pelajaran khusus, yaitu OM, orientasi dan mobilitas. Mereka diajarkan untuk tahu seluruh bagian di gedung ini, diajari penggunaan tongkat, bagaimana mereka mengenal lingkungan saat di sini maupun di luar, itu semua pembelajaran khusus bagi mereka,” bebernya.
Nurhayati sendiri tak pernah menyangka bisa menjadi pengajar bagi tunanetra. Semua bermula saat wanita kelahiran Soppeng, 31 Desember 1962 silam ini terpaksa melanjutkan pendidikan di salah satu institusi pendidikan tinggi yang jebolannya ditujukan menjadi pengajar anak berkebutuhan khusus.
“Dulu itu hanya ada dua jurusan. Jurusan B dan C. Jurusan B itu pengajar anak-anak tuli, dan jurusan C itu pengajar anak tunagrahita atau yang memiliki keterbelakangan mental. Saat itu saya pilih jurusan C,” katanya.
Kala itu, dia mengaku sempat kehilangan minat menjalani pendidikan. Bahkan sering kali ia membolos dan lebih memilih menghabiskan waktu bersama teman-temannya ketimbang mengikuti perkuliahan.
Enam bulan berselang, dia bertemu Winda. Salah satu anak penyandang tunagrahita yang mengubah pandangannya terhadap anak berkebutuhan khusus.
“Saya bertemu Winda di Yayasan Pembina Pendidikan Luar Biasa (YPPLB) Cenderawasih. Saat itu Winda selalu ikut sama saya. Padahal kata gurunya, dia termasuk anak yang takut bertemu orang baru. Dari situ saya tersentuh, saya berpikir, siapa yang akan peduli dan mengurus mereka kalau bukan kita-kita ini?” kenangnya.
Astuti, 53 tahun, juga salah satu pengajar di SLB-A YAPTI. Dia sudah menghabiskan kurang lebih 20 tahun hidupnya mengabdikan diri membagi ilmu yang dia miliki kepada siswa penyandang tunanetra.
Mengajar anak berkebutuhan khusus, bagi Astuti, menjadi salah satu sumber kebahagiaannya. Bahkan, sekolah ini sudah dia anggap sebagai rumah kedua.
“Seminggu saja saya tidak injak sekolah ini, ibarat ada rasa kehilangan. Jadi kadang kalau saya libur, saya tetap datang karena rindu anak-anak,” katanya.
Saking lamanya menjadi pengajar di tempat ini, Astuti tak lagi merasakan kendala berarti dalam mengajar. Dia sepertinya sudah khatam betul cara memperlakukan siswanya.
“Menghadapi karakter yang berbeda tentu harus dengan treatment yang berbeda pula. Tapi saya selalu berusaha untuk treatment mereka dengan baik, tanpa kekerasan. Karena saya juga berat hati mau mengerasi mereka,” ungkapnya.
Bagi Astuti, hubungannya dengan siswa bukan sekadar pengajar dan anak didik. Terkadang, dia juga menjadi telinga untuk mendengar curahan hati siswanya.
Tidak jarang pula ia menjadi komedian untuk menghibur siswa yang tengah bersedih. Jadi tak heran jika Astuti menjadi salah satu guru yang difavoritkan oleh siswa.
“Intinya guru itu juga mendidik dan membimbing, bukan sekadar mengajar. Ada saatnya kami jadi orang tua, teman, dan guru bagi mereka,” katanya.
Nurhayati dan Astuti merupakan segelintir orang yang memiliki kemuliaan hati besar. Bagi keduanya, setiap anak berhak memperoleh pendidikan yang layak meski dengan keterbatasan yang dimiliki. Mereka punya misi besar untuk mewujudkan mimpi dan cita-cita tunanetra dari gelapnya ruang kehidupan. (*)