MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Wali Kota Makassar, Mohammad Ramdhan Pomanto turut dihadirkan dalam sidang kasus dugaan korupsi pembangunan Rumah Sakit (RS) Tipe C Batua Makassar di Pengadilan Tidak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Senin (18/4/2022).
Kehadiran Danny-sapaannya adalah untuk memberikan keterangan atas kapasitasnya selaku Wali Kota Makassar saat proses penganggaran dan pembagunan RS Batua dilakukan. Ia termasuk salah satu pihak yang menganggarkan pembangunan RS Batua tahun 2017.
Wali Kota Makassar itu datang dengan mengenakan pakaian dinas harian (PDH) cokelat dinas Pemerintah Kota Makassar. Danny datang ditemani sejumlah protokolnya.
Usai sidang, Danny mengungkapkan kehadirannya di PN Makassar sebagai bukti warga negara yang taat akan hukum. Juga kedatangannya adalah untuk membersihkan dirinya yang disebut sempat ikut tercemar dalam kasus ini.
“Hukum membutuhkan saya, maka saya hadir. Kedua pengadilan ini tempat pengadil-pengadil, saya juga ikut tercemar dalam kasus RS Batua ini, maka disinilah saya tempat menyampaikan keadilan, di ruang sidang tadi,” ucap Danny usia memberikan keterangan.
“Saya kira diruang sidang tadi menarik, yang bersangkutan (terdakwa) menuduh ada (keterkaitan). Saya juga termasuk di bully di masyarakat gara-gara fitnah ini, maka disinilah saya sampaikan (kebenarannya),” sambung dia.
Di hadapan majelis hakim, Danny Pomanto memaparkan kalau secara teknis dirinya tidak mengetahui proses tender hingga pembangunan Puskesmas Batua. Dirinya hanya menerima laporan kalau pembangunan tahap awal mencakup konstruksi bangunan sudah selesai dan dinyatakan rampung.
“Pembangunan Puskesmas Batua tahap I dilakukan dengan tujuan nantinya meningkatkan status Puskesmas menjadi rumah sakit. Intinya adalah peningkatan pelayanan kesehatan pada masyarakat Makassar,” urai Danny Pomanto.
Dicecar tentang pembangunan yang menurut hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) masuk dalam kategori total loss atau dengan kata lain tidak bisa digunakan, Danny Pomanto membantah. Menurut dia sebagai mantan konsultan pembangunan rumah sakit, bangunan Puskesmas yang berdiri saat ini bisa digunakan.
“Kalaupun ada perbaikan pada beberapa bagian, hal yang wajar dan biasa dilakukan dalan sebuah proyek konstruksi. Soal proses awal sampai akhirnya proyek tahap I itu kemudian dinyatakan selesai, secara pribadi saya tidak mengetahui. Tapi, bangunan kami lihat bisa dimanfaatkan,” terang Danny Pomanto.
Wali kota berlatar belakang arsitektur ini memaparkan, berdasarkan dokumen yang dirinya terima terkait proyek pembangunan Puskesmas Batua, diketahui bahwa proyek pembangunannya bersifat mulltiyears atau tahun jamak, dengan pengertian kontrak pelaksanaan pekerjaannya membebani dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) lebih dari satu tahun anggaran.
Tahun pertama pembangunan Puskesmas Batua dengan anggaran Rp25,5 miliar lebih pada tahun 2018 memang hanya difokuskan pada konstruksi awal. Dengan kata lain, pembangunan tahap awal sudah sesuai perencanaan.
Lebih jauh, Danny mengungkapkan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar akan kembali menganggarkan kelanjutan pembagunan rumah sakit tersebut sebesar Rp 10 miliar dalam APBD tahun 2022.
Penganggaran itu dilakukan atas dasar analisis data yang ia terima dari tim ahli Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Bangunan tersebut dinilai masih layak dan kokoh untuk digunakan.
“Ada datanya dari Unhas dan dia pake modelling. Itu komputer yang bikin, memakai aplikasi struktur untuk menghitung kembali kekuatannya. Makanya kenapa saya berani menerima usulan DPRD untuk menganggarkan. Tadinya Rp 20 miliar, tapi saya minta Rp10 miliar saja,” sebut Danny.
Di sisi lain, saat hakim Farid Hidayat Sopamena menanyakan apakah Wali Kota Danny Pomanto mengenal Andi Erwin Hatta Sulolipu, Danny menegaskan kalau Erwin Hatta adalah sahabatnya.
“Tapi sama dengan sahabat-sahabat saya yang lain, saya tidak pernah membahas masalah proyek sekalipun,” pungkas Danny.
Terpisah, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Makassar, Syamsul Rezky mengatakan keterangan Danny dalam sidang yang mana statusnya sebagai saksi akan dianalisis pihaknya.
“Keterangan saksi menjelaskan tidak pernah mengarahkan untuk memenangkan rekanan tertentu dan tidak pernah ada pertemuan teknis terkait pembangunan batua, namun terdakwa Sri pada saat memberikan tanggapan menyatakan adanya pertemuan dimaksud. Perbedaan keterangan saksi tersebut selanjutnya akan dianalisis oleh JPU dalam pengungkapan fakta hukum nantinya,” ujar JPU.
Diketahui, terdapat 13 orang yang ditetapkan sebagai terdakwa dalam perkara ini masing-masing, Andi Naisyah Tun Azikin (AN), mantan Kadiskes Makassar selaku KPA, Sri Rahmayani Malik (SR), PNS Pemkot Makassar selaku PPK, Muh Alwi (MA), PNS Pemkot Makassar selaku PPTK, Firman Marwan (FM), PNS Pemkot Makassar selaku PPHP, Hamsaruddin (HS), Pokja ULP Makassar, Mediswaty (MW), Pokja ULP Makassar, Andi Sahar (AS), Pokja ULP Makassar.
Kemudian, Andi Erwin Hatta Sulolipu (AEH), Direktur PT Tri Mitra Sukses Sejahtera, Muhammad Kadafi Marikar (MK), Direktur PT Sultana Nugraha, Andi Ilham Hatta Sulolipu (AIHS), Kuasa Direktur PT Sultana Nugraha, Anjas Prasetya Runtulalo (APR), konsultan pengawas CV Sukma Lestari, Dantje Runtulalo (DR), konsultan pengawas CV Sukma Lestari dan Ruspiyanto (RP) Inspektur Pengawasan CV Sukma Lestari.
Dalam kasus ini sendiri diketahui, RS Batua Makassar tipe C menelan biaya sebesar Rp25,5 miliar yang dianggarkan melalui APBD Kota Makassar tahun 2018 lalu.
Para tersangka kasus ini memiliki peran masing-masing, yakni AN selaku pengguna anggaran (PA), SR selaku kuasa pengguna anggaran (KPA) sekaligus pejabat pembuat komitmen (PPK), MA selaku pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) dan FM selaku panitia penerima hasil pekerjaan (PPHP).
Kemudian HS, MW, AS dari kelompok kerja (Pokja) 3. Sedangkan MK selaku Direktur PT SA, AIHS selaku Kuasa Direktur PT SA, AEH selaku Direktur PT TMSS, DR dan APR selaku Konsultan pengawas CV SL dan RP selaku Inspektor Pengawasan.
Penyidik menjerat mereka dengan Pasal 2 ayat 1 Subsider Pasal 3 Undang-undang 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo 55 ayat (1) ke 1E KUHP. (*)