MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Jumlah pemilih milenial dan generasi Z pada Pemilu 2024 diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 60 persen dari total suara pemilih. Potensi itu akan dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk menjerat mereka dalam pusaran praktik permainan politik uang.
Koordinator Divisi Pengawasan Badan Pengawas Pemilu Sulawesi Selatan, Amrayadi mengatakan, pelajar atau pemilih pemula harus terlibat dalam pemilihan umum secara cerdas. Harapannya, mereka adalah generasi yang diharapkan dapat membangun demokrasi yang berkualitas.
“Pemilih pemula harus tercerahkan dan tidak terkontaminasi dengan praktik-praktik yang menciderai proses demokrasi, seperti politik uang. Menjadi pemilih cerdas sebagai syarat membangun demokrasi berkualitas,” kata Amrayadi di kantor Bawaslu Sulsel, Senin (30/5/2022).
Dirinya menjelaskan praktik politik uang memiliki daya rusak yang sangat tinggi. Menurutnya, politik uang sangat merugikan pemilih itu sendiri, karena menggadaikan suaranya demi kepentingan sesaat. Bahkan ia mencontohkan kasus politik oleh pemilih di Pinrang yang berujung pada jeruji besi.
“Satu waktu kegiatan Bawaslu di Pinrang, kami sengaja meminta kepala lembaga pemasyarakatan di sana untuk menghadirkan terdakwa politik uang. Agar memberikan pencerahan bagi pemilih dalam acara Bawaslu. Sehingga pemilih bisa melihat bahaya nyata politik uang,” ujarnya.
Amrayadi merinci, secara ekonomis politik uang pada pemilih senilai Rp100 ribu tak senilai dengan kepentingan pemilih pada jangka panjang.
“Misal, ada pemilih yang diberi Rp 100 ribu untuk memilih calon tertentu. Coba bagi lima sesuai masa jabatan lima tahun anggota dewan, hanya Rp 20 ribu lebih. Apakah suara kita mau hanya segitu, bahkan sejuta pun tak akan cukup,” tambahnya.
Ketua Bawaslu Sulsel Laode Arumahi mengatakan terus melakukan sosialisasi dan pendampingan berjenjang di setiap level dalam hal pengawasan partisipatif dan pendidikan politik pemilih pemula di kabupaten dan kota di Sulawesi Selatan.
“Kami di Bawaslu terus mengembangkan jejaring. Selain di tingkat pemilih pemula, Bawaslu juga telah menjalin kerjasama dengan Perguruan Tinggi dalam hal pengembangan edukasi masyarakat dan juga pengembangan SDM di internal Bawaslu,” katanya.
Dirinya menyebutkan kegiatan sosialisasi dan pendidikan tidak boleh berhenti dilakukan.
“Kesadaran politik dan kepemiluan di tingkat generasi muda kita dapat di pupuk sejak dini,” harapnya
Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Andi Ali Armunanto mengatakan walau politik uang masih berpotensi terjadi, tapi pemilih pemulalah yang mendapat informasi lebih cepat melalui media sosial, bagaimana konsekuensinya jika dia menerima atau memberikan uang dengan harapan memilih salah satu caleg atau kepala daerah.
“Kami lihat pemilih pemula usia 17-25 tahun saat ini lebih akrab dengan sosial media. Dengan itu, merekacepat mendapatkan informasi dengan baik. Sehingga lebih paham bahaya politik uang. Apalagi Bawaslu saat ini gencar melakukan sosialisasi bahaya politik uang,” katanya.
Menurut Ali, politik uang sangat kecil terjadi terhadap pemilih pemula. “Sebagian besar berperilaku rasional walaupun tidak kemungkinan banyak yang tutup mata dengan menjual suaranya dengan mendapatkan keuntungan sesaat,” ujarnya
“Jadi saya optimis pemilih pemula ini akan lebih rasional,” lanjutnya.
Yang menjadi kekawatiran pemilih yang tidak akrab dengan media sosial. “Apalagi yang ada di pelosok dan akan lebih rawan dijadikan obyek praktik politik uang,” imbuh Ali. (*)