MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan mengeluarkan rekomendasi mengenai antisipasi wabah penyakit mulut dan kuku pada heran kurban. MUI Sulsel meminta, pemerintah dan pihak terkait menutup pengiriman hewan dari luar Sulawesi Selatan.
“Rekomendasi ini dalam rangka antisipasi dan perlindungan bagi masyarakat Sulawesi Selatan,” kata Sekretaris MUI Sulsel, Muammar Bakry, Kamis (2/6/2022).
Menurut dia, rekomendasi MUI Sulsel itu sebagai tindaklanjut dari fatwa MUI Pusat yang dikeluarkan, beberapa hari lalu. Rekomendasi itu diambil setelah MUI Sulsel mengelar rapat bersama dengan Juru Sembelih Halal (Juleha) Sulsel.
“PMK merupakan virus yang mudah menyebar sehingga membahayakan bagi hewan kurban di Sulawesi Selatan,” ujar Muammar.
Selain menutup pengiriman hewan dari luar Sulsel, MUI Sulsel berharap adanya peningkatan pengawasan terhadap lalu lintas ternak antarkabupaten dan kota. Pemerintah diminta proaktif turun ke masyarakat melakukan pemeriksaan ternak sapi.
Selain itu, MUI Sulsel meminta pemerintah dapat memelopori kampanye makan minum di restoran, hotel, dan rumah makan yang bersertifikasi halal. MUI berharap pemerintah untuk mencanangkan gerakan sadar halal di Sulawesi Selatan dan berkolaborasi dengan berbagai pihak sebagai upaya akselerasi sertifikasi halal di daerah ini.
Sebelumnya, MUI telah mengeluarkan fatwa nomor 23 Tahun 2022 tentang Hukum dan Panduan Pelaksanaan Ibadah Kurban Saat Kondisi Wabah Penyakit Mulut dan Kuku.Dalam fatwa tersebut dijelaskan hukumnya ada yang sah, tidak sah, dan sedekah atau tidak memenuhi syarat hewan kurban.
Tak hanya itu, pada fatwa tersebut dituliskan juga panduan kurban untuk mencegah peredaran wabah PMK.
Pada poin pertama dituliskan, umat Islam yang akan berkurban dan penjual hewan kurban wajib memastikan hewan yang akan dijadikan hewan kurban memenuhi syarat sah, khususnya dari sisi kesehatan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Poin kedua, umat Islam yang melaksanakan kurban tidak harus menyembelih sendiri dan/atau menyaksikan langsung proses penyembelihan.
Lanjut, poin ketiga, umat Islam yang menjadi panitia kurbanbersama dengan tenaga kesehatan perlu mengawasi kondisi kesehatan hewan dan proses pemotongan serta penanganan daging, jeroan, dan limbah. Poin keempat, Dalam hal terdapat pembatasan pergerakan ternak dari daerah wabah PMK ke daerah lain yang menyebabkan kurangnya stok, maka umat Islam yang hendak berkurban yakni dapat berkurban di daerah sentra ternak baik secara langsung maupun tidak langsung dengan mewakilkan (tawkil) kepada orang lain dan berkurban melalui lembaga sosial keagamaan yang menyelenggarakan program pemotongan hewan kurban dari sentra ternak.
Poin ke lima, lembaga sosial keagamaan yang memfasilitasi pelaksanaan kurban dan pengelolaan dagingnya agar meningkatkan sosialisasi dan menyiapkan layanan kurban dengan menjembatani calon pekurban dengan penyedia hewan kurban. Poin ke enam, Daging kurban dapat didistribusikan ke daerah yang membutuhkan dalam bentuk daging segar atau daging olahan.
Lanjut, poin ke tujuh, panitia kurban dan lembaga sosial yang bergerak di bidang pelayanan ibadah kurban diwajibkan menerapkan prinsip kebersihan dan kesehatan (higiene sanitasi) untuk mencegah penyebaran virus PMK secara lebih luas. Poin ke delapan, Pemerintah wajib menjamin ketersediaan hewan kurban yang sehat dan memenuhi syarat untuk dijadikan kurban bagi masyarakat muslim.
Namun, bersamaan dengan itu Pemerintah wajib melakukan langkah pencegahan agar wabah PMK dapat dikendalikan dan tidak meluas penularannya.
Terakhir, poin ke sembilan, pemerintah wajib memberikan pendampingan dalam penyediaan, penjualan, dan pemeliharaan hewan kurban untuk menjamin kesehatan dan kesejahteraan hewan kurban.
Poin ke sepuluh, Pemerintah wajib mendukung ketersediaan sarana prasarana untuk pelaksanaan penyembelihan hewan kurban melalui rumah potong hewan (RPH) sesuai dengan fatwa MUI tentang standar penyembelihan halal agar penyebaran virus PMK dapat dicegah semaksimal mungkin. (*)