MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Wali Kota Makassar, Moh Ramdhan ‘Danny’ Pomanto secara tegas menolak masa jabatannya dipangkas.
Diketahui, pasangan Danny-Fatma adalah salah satu kepala daerah terpilih pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2020 lalu. Hanya saja, mereka hanya menjabat empat tahun saja. Hal itu sesuai dengan aturan Pasal 201 ayat 7 dan ayat 8 UU 10/2016 berbunyi bahwa Pilkada serentak secara nasional digelar November 2024.
Meski demikian, Danny menjelaskan dalam Surat Keputusan (SK) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Nomor 131.73-356 tahun 2021 mengatakan bahwa kepala daerah hasil pilkada 2020 akan berakhir di tahun 2025/2026.
Oleh karena itu, Danny berpandangan bahwa ke depan, pasti ada kepala daerah menggugat kebijakan tersebut karena merasa dirugikan.
“Sampai sekarang memang belum ada (yang menggugat) tapi kita lihat nanti. Hal ini pasti digugat lantaran SK kita masih 2025/2026. Ke depan, pasti ada gugat, karena ini bukan persoalan pemotongan jabatan saja,” beber Danny saat diwawancara, Kamis (9/6/2022).
Selain itu, menurut Danny, hasil pilkada beberapa waktu adalah hasil pilihan atau suara rakyat, mereka telah menentukan pilihan sehingga tak boleh diganggu oleh siapa pun.
Sehingga, kata dia, perpanjangan masa jabatan juga bisa saja ditolak oleh masyarakat dan berbagai pihak, begitu juga dengan pemotongan masa jabatan kepala daerah.
“Saya menolak jika adanya regulasi pemotongan masa jabata saya. Begini, itukan (aturan) belum diuji hukum, sedangkan ditambah masa jabatan saja setengah mati, harus ada protesnya, apalagi mau dipotong (masa jabatan,” ucapnya.
“Ini bertentangan dengan UUD, karena memangkas hasil pilihan rakat. Disisi lain, tambah masa jabatan saja setengah mati (tidak bisa), apalagi mengurangi,” jelas Danny.
Sementara itu, Komisioner Komisi Pemilihan Ummum (KPU) Provinsi Sulsel, Syarifuddin Jurdi menyatakan, meskipun belum ada regulasi soal masa jabatan pilkada 2020. Akan tetapi, secara hukum jika pilkada dilaksakan serentak 2024 maka, semua daerah wajib menggelar pilkada, tanpa terkecuali.
“Jadi, di aturan UU mengatakan pilkada serentak dan Pemilihhan Legislatif (Pileg) atau Pemilihan Umum (Pemilu) dilakukan bersamaan di tahun 2024. Maka pasti semua daerah berpilkada. Baik hasil pilkada tahun sebelumnya atau pilkada 2020,” tuturnya.
Diketahui, sebelumnya secara nasional tiga Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yakni Suhartoyo, Manahan Sitompul dan Arief Hidayat menilai kepala daerah terpilih hasil pemilihan 2020 menjadi pihak yang paling dirugikan atas berlakunya pilkada 2024.
Masa jabatan mereka yang terpilih pada 2020, menurut Hakim MK berkurang dari seharusnya lima tahun, menjadi hanya 4 tahun. Demikian disampaikan para hakim ketika memberikan masukan perihal kedudukan hukum para pemohon atas pengujian materil Undang-Undang No. 10/2016 tentang Pilkada.
“Mereka yang seharusnya kehilangan masa jabatan, tidak full (penuh) adalah (kepala daerah) yang dilantik pada 2020,” ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Suhartoyo pada sidang pemeriksaan perkara di Gedung MK, Jakarta belum lama ini.
Permohonan pengujian UU Pilkada, diajukan oleh Bartolomeus Mirip sebagai pemohon I yang pernah mencalonkan diri sebagai Bupati Intan Jaya, Papua pada 2017 dan kembali ingin mencalonkan diri pada pilkada 2022.
Namun, terhalang karena aturan PasalPasal 201 ayat 7 dan ayat 8 UU 10/2016 bahwa pilkada serentak secara nasional digelar November 2024.
Suhartoyo dan Hakim Konstitusi Manahan Sitompul meminta pemohon lebih mengelaborasi kerugian konstitusional atas berlakunya pasal-pasal yang diujikan, untuk memperkuat kedudukan hukum.
Sementara Hakim Konstitusi Arief Hidayat mengatakan ketentuan dalam pemilu dan pilkada merupakan kewenangan pembuat undang-undang atau open legal policy.
Arief menjelaskan, Mahkamah pada putusannya, berpendapat pemilu dan pilkada adalah dua rezim berbeda. Pasal 22E ayat 1 UUD 1945, terang Arief, menyebutkan rezim pemilu secara normatif ditentukan lima tahun sekali. Tetapi untuk rezim pilkada sebagaimana ayat 18 ayat 4 UUD 1945, hanya menegaskan kepala daerah dipilih secara demokratis. (*)