MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Fatimah (59) sedang memasukkan kerupuk dagangannya ke dalaman plastik kemasan. Dia tampak bersemangat karena kembali harus menyuplai ulang produknya ke sejumlah warung di sejumlah titik Kota Makassar. Dia berharap “asap di dapurnya bisa mengebul tebal,” pertanda pendapatannya membaik.
Selama dua tahun terakhir, pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan ketiga anaknya. Hanya mendapatkan uang Rp200.000 hingga Rp300.000 per bulan di tengah pandemi, tidak cukup baginya untuk membiayai kebutuhan hidup dirinya dan tiga anaknya.
Fatimah juga tidak bisa menggantungkan diri pada ketiga anaknya karena mereka juga terkena imbas pandemi. Ketiga anaknya menganggur setelah diberhentikan dari tempat mereka bekerja, yaitu di los Pasar Sentral, penjaga counter handphone (hp) di MTC dan pelayan di sebuah kafe.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan anak-anaknya, Fatimah terpaksa menjual harta benda miliknya, termasuk perhiasan emasnya. Salah satu anaknya juga terpaksa merelakan sepeda motor miliknya dilepas.
Kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) pandemi Covid-19 telah menyulitkan Fatimah untuk menjual kerupuk buatannya. Banyak pelanggan tetap memilih tidak membeli kerupuk buatannya karena khawatir dengan penularan Covid-19.
Sementara untuk mencari pembeli baru, agak sulit. Selain karena pandemi Covid-19, juga karena Fatimah pernah menderita kusta sehingga sulit untuk mendapat kepercayaan dari calon pelanggan baru.
Tidak hanya itu, vaksin juga menjadi ganjalan bagi Fatimah untuk bisa berinteraksi dengan calon konsumen. Walau vaksinasi bagi warga prioritas secara nasional telah dimulai pada Maret 2021, Fatimah baru divaksin lima bulan kemudian, Agustus 2021.
Alasan menjalani vaksinasi bukan karena demi kesehatan. “Baru sadar kalau vaksinasi itu penting setelah Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar menyatakan bahwa syarat mengurus administrasi kependudukan harus bersyarat vaksin,” kata Fatimah.
Akan tetapi, dia buru-buru menambahkan bahwa alasan dia mau vaksin adalah karena tetangganya yang juga mantan penderita kusta telah divaksin. Sejauh ini, mereka tidak mengalami kondisi ikutan pascaimunisasi (KIPI).
Dalam hal vaksinasi, Marawang (49) juga melakukan hal yang sama dengan Fatimah. Tidak hanya karena takut disuntik, alasan Marawang menunda vaksinasi adalah karena menurutnya vaksinasi hanya akal-akalan pemerintah yang dinilainya ingin mengambil keuntungan.
Tak hanya itu, Marawang juga mengatakan, dia tidak setuju dengan adanya tim detektor, bagian dari kebijakan Makassar Recover, yang digagas Wali Kota Makassar, Moh Ramdhan ‘Danny’ Pomanto.
“Tim mendatangi rumah, memeriksa kesehatan warga, mulai dari tensi, suhu tubuh dan sebagainya. Tapi, menurut saya, ini tidak sejalan dengan program pemerintah pusat karena tim ini secara pasti dapat menyebarkan Covid-19 lantaran mereka telah berkeliling-keliling bertemu dengan warga lainnya,” kata Marawang.
Kesadaran Marawang soal vaksin muncul setelah Yayasan PerMata, salah satu tempatnya beraktivitas mensyaratkan vaksinasi sebagai pintu masuk berkegiatan. “Saya mengikuti vaksinasi akhir 2021, setelah diyakinkan beberapa pihak,” singkat Marawang.
Kusta, Covid-19 dan Stigma
Fatimah dan Marawang adalah dua OYPMK yang tinggal di sebuah kompleks khusus bagi mantan penderita kusta. Kompleks Penderita Kusta Jongaya adalah nama tempat tinggal mereka, terletak di Kelurahan Balla Parang, Tamalate, Makassar. Di kompleks yang didirikan sejak taun 1936, Fatimah dan Marawang serta keluarganya tinggal bersama sekitar 1300 orang warga.
Dari jumlah tersebut, sebanyak 25 persen diantaranya atau sekitar 400 orang berstatus OYPMK. Sebanyak 100 diantaranya mengalami kerusakan organ.
Al Qadri, Wakil Ketua Yayasan PerMaTa (Perhimpunan Mandiri Kusta), mengatakan, pembatasan kegiatan membuat warga kompleks tersebut berusaha untuk bertahan hidup. Seperti Fatimah dan Marawang, warga lainnya mencoba bertahan hidup dengan menjual harta benda miliknya. Apalagi, sebagai OYPMK, ruang gerak mereka sangat terbatas.
“Bersyukur organisasi kami mendapatkan perhatian dari lembaga-lembaga sosial, kami bermitra dengan mereka, memperlihatkan situasi anggota kami seperti apa dan itu mendapat perhatian. Pasalnya, kami sama sekali tidak pernah mendapatkan dukungan pemerintah sejak pandemi Covid-19,” kata Al Qadri.
Al Qadri sendiri adalah OYPMK. Saat berusia 6 tahun, dia divonis menderita kusta. Sempat berpindah-pindah kota tempat tinggal, Qadri memutuskan tinggal dan menetap di Jongaya pada 1991. Di sinilah dia bertemu dengan istrinya, yang juga merupakan OYPMK.
Al Qadri sadar bahwa pembatasan kegiatan semakin mengekang gerak warga Jongaya, yang membutuhkan pemasukan untuk menghidupi diri dan keluarganya masing-masing. Vaksin Covid-19 mau tidak mau menjadi syarat agar OYPMK bisa menjalani kegiatan dengan tenang.
Akan tetapi, informasi yang beredar di masyarakat soal keamanan vaksin, menjadi salah satu penghambat program vaksinasi OYPMK. Selain itu, di awal-awal program vaksinasi nasional, Maret 2021, OYPMK memang tidak dimasukkan dalam kelompok rentan, yang diprioritaskan sebagai orang yang pertama kali menerima vaksin Covid-19 ketika sudah ada di Indonesia.
Hal itu juga diakui Humas Ikatan Dokter Indonesia Makassar, dr Wahyudi Muchsin. Awal program vaksinasi nasional, sekitar bulan Maret 2021, warga yang menderita kusta ataupun OYPMK belum bisa divaksin. Mereka dimasukkan dalam kategori orang yang memiliki komorbid atau penyakit bawaan.
Akan tetapi, setelah dilakukan penelitian lanjutan, menurut Wahyudi, penderita kusta maupun OYPMK boleh mendapatkan vaksinasi Covid-19. “Jadi setelah dilakukan riset dan merekaeminum obat secara teratur, seperti hipertensi, diabetes, mereka bisa mendapatkan vaksinasi,” tuturnya.
Walaupun telah dinyatakan aman, tetap saja OYPMK enggan divaksin. Seperti yang disampaikan Marawang, dia tidak yakin hal itu akan melindunginya dan sebaliknya, vaksinasi hanya akal-akalan pemerintah saja. Hal tersebut berdasarkan banyaknya informasi hoaks yang beredar pada awal penerapan wajib vaksin secara nasional kepada masyarakat.
Ditambah lagi, doktrin orang sekitar seperti tetangga hingga keluarganya bahwa informasi itu benar dan tidak diiringi oleh massifnya sosialisasi pemerintah terkait vaksinasi aman saat awal penerapannya.
Akan tetapi, bagi AL Qadri, ketidakmauan OYPMK untuk divaksin, dalam jangka panjang akan menyulitkan mereka sendiri. Untuk itu, AL Qadri menetapkan syarat vaksinasi Covid-19 bagi penderita kusta atau OYPMK yang ingin mengikuti kegiatan di yayasan itu.
Untuk mendorong vaksinasi bagi anggotanya dan OYPMK lainnya, Al Qadri pun bersedia menjadi mantan penderita kusta yang pertama menjalani vaksinasi. “Aman,” katanya.
Walakin, belum semua OYPMK mau menjalani vaksinasi. Kepala Dinas Kesehatan Kota Makassar, Nursaidah Sirajuddin mengatakan, warga Kompleks Jongaya mendapatkan perhatian khusus dari pihaknya, seperti halnya kelompok rentan lainnya. Sosialisasi yang masif untuk memberikan pemahaman tentang manfaat vaksinasi bagi diri dan lingkungan OYPMK terus digencarkan.
Penekanannya adalah vaksin ama bagi para penderita kusta dan OYPMK.
“Sejak penderita kusta tidak termasuk dalam kriteria tak layak vaksin, maka tidak akan ada dampaknya,” kata Nursaidah.
Kini, menurut data yang dipegang Al Qadri, realisasi vaksinasi di Jongaya telah mencapai 90 persen. Masih butuh usaha agar cakupan vaksinasi itu mencapai 100 persen. (*)