MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Kepala daerah (Kada) peraih suara fantastis di Pilkada 2020 lalu patut diperhitungkan sebagai kandidat potensial di Pilgub Sulsel 2024 mendatang.
Dari segi kepopuleran dan elektabilitas, setidaknya ada enam nama yang dinilai layak maju bertarung. Mereka adalah kepala daerah yang sudah genap dua periode memimpin di daerahnya.
Diantaranya, Adnan Purichta Ichsan (Bupati Gowa), Taufan Pawe (Wali Kota Parepare), Moh Ramdhan “Danny” Pomanto (Wali Kota Makassar), Andi Fashar Padjalangi (Bupati Bone), Andi Kaswadi Razak (Bupati Soppeng), dan Indah Putri Indriani (Bupati Lutra).
Manager strategi dan operasional lembaga survei Jaringan Suara Indonesia (JSI), Nursandy Syam berpandangan, kepala daerah yang telah menjalani dua periode kepemimpinan tentu berkepentingan untuk membangun karir politik selanjutnya.
“Para kepala daerah dua periode punya magnet politik yang tidak dimiliki figur non kepala daerah,” katanya.
Lanjut dia, pada prakteknya, nama-nama kepala daerah tersebut cukup berhasil membangun citra dan menunjukkan kinerja dan prestasinya.
Diantara nama-nama itu, terdapat aspek elektoral yang menguntungkan kepala daerah seperti Walikota Makassar Danny Pomanto, Bupati Gowa Adnan Puchrita Ichsan, Bupati Bone Andi Fahsar Padjalangi dan Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani dalam menatap kontestasi di Pilgub Sulsel 2024.
“Wilayah yang dipimpinnya cukup strategis jika menilik populasi pemilih dan geopolitiknya. Modal itu bisa dimanfaatkan untuk menarik perhatian parpol dan figur-figur calon pasangan potensial yang berasal dari non kepala daerah,” jelasnya.
Direktur Eksekutif Parameter Publik Indonesia, Ras Md memprediksi kursi Gubernur Sulsel 2024 kembali akan diisi oleh figur berlatar belakang kepala daerah (bupati/walikota). “Ya, saya pikir untuk peluang Gubernur Sulsel 2024 mendatang kembali akan diisi oleh figur berlatar belakang kepala daerah,” tuturnya.
Menurutnya, dalam dua edisi pemilihan langsung, kursi gubernur selalu diisi oleh figur berlatar belakang kepala daerah. Baik Syahrul Yasin Limpo maupun Nurdin Abdullah.
“Ini bukti jika kans seorang figur berlatar belakang kepala daerah di Sulsel terbuka lebar jika ingin tampil dipentas Pilgub. Walaupun dalam proses meyakinkan publik tak begitu mudah. Namun menurut saya, mereka sudah mengantongi modal awal,” jelasnya.
“Sekarang tergantung positioning para kepala daerah. Apakah saat ini para figur belatar belakang kepala daerah sudah cukup populer di Sulsel dan dipersepsi berkinerja baik di wilayah mereka masing-masing ataukah tidak. Karena tanpa memahami positioning ini, tentu bukan hal mudah bisa masuk ke bursa Pilgub,” tarangnya.
Sementara itu, pengamat politik Unhas Makassar, Dr Phil Sukri mengatakan, kelima kepala daerah ini paling tidak telah memiliki modal untuk dapat bertarung dalam Pilgub 2024 Sulsel mendatang.
“Paling tidak posisi mereka sebagai kepala daerah dua periode di masing-masing wilayahnya menjadikan mereka memiliki basis dukungan awal, minimal di wilayah mereka masing-masing,” katanya, Kamis (16/6/2022).
Lanjut dia, dengan kenyataan mereka telah dua periode pada posisinya. Maka asumsinya adalah mereka mendapatkan kepercayaan rakyat dengan baik karena dapat terpilih lagi pada periode kedua dengan tentu saja suara yang cukup signifikan.
Selain itu, dengan menjadi kepala daerah selama dua periode maka tentu saja jaringan sosial dan politik mereka ditambah dengan modal ekonominya akan menjadi kekuatan awal untuk membangun peluang mereka maju bersaing pada Pilgub sulsel mendatang.
“Namun tentu saja berbagai modal terebut juga akan menjadi kurang berarti jika dalam masa kepemimpinan mereka selama dua periode, mereka gagal atau tidak dapat menunjukkan hasil kinerja yang maksimal sesuai dengan harapan rakyat,” tuturnya.
Menurutnya, salah satu alasan untuk memilih mereka tentu adalah apa yang menjadi kelebihan mereka selama ini. “Salah satunya tentu terkait dengan prestasi yang mereka mampu raih selama menjadi kepala daerah,” jelasnya.
Jadi dalam hal ini, meski mereka berhasil menjadi kepala daerah dua periode namun tidak menunjukkan hasil yang baik serta tidak mampu menjaga relasi yang baik dengan masyarakat, maka bisa jadi asumsi akan klaim terhadap wilayahnya sebagai basis awal dukungan menjadi tidak berarti. (*)