LUWU TIMUR, BACAPESAN.COM– Ribuan pohon kakao menghiasi desa berjarak 49,4 kilo meter dari pusat Luwu Timur.
Namanya Tarengge, salah satu desa penghasil kakao di Lutim. Tekstur tanah basah perkebunan sangat cocok dengan tumbuhan bernama latin theobroma cacao ini.
Tak hanya di Tarengge, desa tetangga seperti Asana dan Balai Kembang juga didominasi tanaman kakao. Masyarakat yang kebanyakan petani di desa ini bahkan memilih kakao sebagai tambatan hidup. Ini mengapa Luwu Timur terkenal sebagai penghasil kakao.
Namun itu dulu, menurut salah satu petani di desa Asana, Bimar, minat terhadap komoditi kakao saat ini mulai melandai bahkan bergeser, “Banyak yang mengganti tanaman kakaonya dan memilih menanam kelapa sawit,” ujarnya Selasa (2/8).
Kelangkaan pupuk dan turunnya harga jual biji kakao menjadi pemicu beralihnya minat petani. “Semua kembali lagi soal urusan perut,” kata Bimar.
“Beralihnya minat masyarakat tidak lain akibat kelangkaan pupuk, harga jual rendah dan tanaman sawit yang semakin menjamur di tanah Luwu Timur,” ungkapnya.
Khusus permasalahan pupuk, meski telah di jatah pupuk subsidi oleh pemerintah, stoknya tak pernah memenuhi permintaan dan kebutuhan petani di daerah Luwu Timur.
“Tantangan kami disini adalah langkanya pupuk, apalagi yang pupuk subsidi. Jenis pupuk yang kami gunakan bermacam macam, salah satunya MPK Pelangi. Harganyapun beraneka ragam, mulai harga 165 ribu rupiah hingga harga 300an,” ujarnya
Tiada alasan pasti mengapa pupuk menjadi langka, yang jelas distribusi dari pusat yang terbatas. “Memang distribusi dari pusat yang kurang, biar ilmu apa yang di pakai jika pupuk atau makanan kakao yang tidak ada, tidak bisa berpenghasilan,” ucap Bimar
Belum selesai permasalahan pupuk, petani kerap dilanda krisis harga jual biji kakao. Bimar menceritakan, harga kakao bahkan pernah di tahap terendah di bawah 10 ribu rupiah.
“Ini membuat masyarakat disini beralih dari kakao ke tanaman sawit. Apalagi waktu itu harga sawit mencapai 3.500
rupiah per kilonya. Tahun lalu misalnya kami sangat dilema, harga jual untuk kakao sangat rendah. Tetapi tahun ini sudah kembali membaik, Rp12 ribu untuk kakao basah dan Rp31 ribu untuk kakao kering, kami beruntung ada Mars yang biasanya membeli dengan harga tinggi,” ungkapnya.
Pilihan petani untuk mengganti kakao menjadi kelapa sawit sangat berpengaruh pada jumlah panen kakao di Lutim. Dari 12000 ton, jumlah panen kakao saat ini menurun menjadi 10000 ton.
Nur Asis, Sustainable Sourcing Supervisor PT Mars mengungkapkan dari sekitar 10000 ribu petani kakao di Luwu Timur, beberapa diantaranya memilih beralih menjadi petani kelapa sawit. Akibatnya tiga periode musim panen di Luwu Timur mengalami penurunan jumlah hasil panen yang cukup besar.
Menurut Asis, ada tiga kali periode panen di Lutim yaitu dua kali panen musim puncak dan satu kali panen antara. Di musim puncak, kakao dipanen setiap dua minggu sekali, sedang di musim perantara kakao di panen setiap tiga minggu sekali
“Dalam satu hektar di musim puncak panen kakao misa mencapai 20 karung, 1 karung sama dengan 50 kilo kakao basah. Beda di musim perantara, panen kakao hanya 3 hinga 4 karung perhektar. Dalam 1 tahun bisa sampai 700 kilo kakao kering perhektar, sedang yang basah bisa mencapai 3 ton satu pertahun. Jumlah ini mengalami penurunan dari tahun sebelumnya” terang Asis
Kondisi menurunnya hasil panen kakao tersebut menurut Jeffrey Haribowo, Corporate Affairs Director Cocoa PT Mars merupakan sebuah krisis dimana tidak hanya berpengaruh pada sisi industri tetapi pada keberlangsungan petani Kakao.
“Ini bukan menyangkut ego kakao. Masalah kakao merupakan masalah industri dan juga masalah keberlangsungan kakao,” tegas Jeffrey
Agar mampu keluar dari krisis ini, dibutuhkan peran aktif dari semua pihak baik dari industri maupun dari pemerintahan, “Kami dari Mars sendiri memberikan edukasi kepada petani terkait tanaman kakao, salahsatunya dengan membentuk Cacao Doctor. Nah untuk pendanaan misalnya, pemerintah bisa memberikan Kredit Usaha Rakyat (KUR) bekerja sama dengan perbankan agar petani mampu mengembangkan pertaniannya.,” sebutnya.
Guna menjaga kestabilan harga kata Jeffrey, Mars sendiri berupaya memberikan harga terbaik untuk petani
mengikuti harga global.
“Menjaga kestabilan harga bukan dari Mars tetapi ditentukan harga global. kami tidak bisa membuat patokan harga sendiri. kami hanya menghadirkan program seperti premi bagi yang memiliki kakao,” ungkapnya.
Merawat keberlangsungan kakao merupakan upaya melestarikan hasil bumi Indonesia, bukan hanya satu pihak, semua harus berkolaborasi mulai dari masyarakat kecil seperti petani hingga pemilik industri dan pemerintah. (*)