BULUKUMBA, BACAPESAN.COM– Udin duduk santai di beranda rumah sembari mendekatkan gawai di telinganya. Suara di seberang telephon menyapa hangat setelah memulai salam.
Sudah menjadi rutinitas Udin menelepon putra putrinya yang berada jauh di kota Makassar. Katanya untuk membayar rindu, sekaligus tau soal ketiga anaknya.
Terdengar lewat pengeras suara, Udin bercengkrama hangat, tersenyum sembari bertukar informasi, termasuk soal kondisinya pasca kemotherapi dan radioterapinya. Hari ini giliran anak keduanya, seorang wiraswasta di kota Daeng.
“Jangan ki lupa bayar BPJS nak, sudah tanggal 10 mi. jangan sampai kita lupa,” pesan Udin sebelum mengakhiri pembicaraan sembari mematikan sambungan gawai yang berdurasi kira kira setengah jam itu.
Udin menceritakan, sejak dirinya di diagnosa menderita Kanker nasofaring stadium dua, hidupnya berubah. Profesi petani harus ia tanggalkan sebab kondisi fisik terus menurun drastis setiap harinya.
Nasofaring adalah jenis penyakit kanker yang berkembang di bagian kepala dan leher, tepatnya di bagian nasofaring atau bagian atas tenggorokan yang terhubung dengan bagian belakang hidung.
“Mungkin karena rokok. 20 tahun lalu saya perokok aktif, segala jenis rokok
pernah saya coba, namun saya memutuskan untuk berhenti. Dan selang beberapa tahun ada benjolan di leher sebelah kanan, maka prosedur operasi saya ambil karena mengira benjolan biasa. Setelah operasi, beberapa bulan kemudian benjolannya tumbuh kembali, lantas saya di fonis menderita kanker nasofaring,” terangnya
Adalah putra putrinya yang membantu perekonomian keluarga, “Anak pertama saya membantu menyekolahkan anak ke tiga, sedangkan anak kedua membantu membayar beberapa tunjangan, termasuk tunjangan BPJS kesehatan,” katanya.
“Saya selalu berpesan kepada anak saya supaya tidak pernah telat membayar iuran BPJS Kesehatan. Meski hanya mengambil BPJS kelas tiga dengan iuran Rp35.000 per orang, namun BPJS selalu mendampingi saya dua tahun terakhir selama pengobatan kanker. Pelayanan di rumah sakit juga sangat bagus, saya merasa sangat berhutang budi apa lagi saya kepala keluarga yang tidak lagi memiliki penghasilan,” sambungnya.
Bagi Udin, menjadi penderita kanker tidaklah mudah. Selain harus telaten menjaga kesehatan, biaya pengobatan juga sangat mahal, bisa mencapai ratusan juta.
“Saya berobat sudah sejak dua tahun silam. Untuk prosedur kemoterapi saja sudah bisa memakan biaya puluhan juta. Saya liat biaya kemoterapi dari harga Rp. 5.000.000 hingga Rp. 14.000.000 sekali kemo, dan saya harus menjalaninya hingga 6 kali. Beda lagi ceritanya dengan radioterapi yang harus saya jalani hingga 45 kali. kalau di total pasti mencapai puluhan juta. Dari mana saya bisa dapat uang sebanyak itu,” ungkapnya penuh haru.
Awalnya Udin mengaku sangsi, mungkin bagi sebagian orang uang Rp. 35.000 kecil nilanya, tapi tidak untuk petani seperti dirinya yang memiliki penghasilan tidak menentu dan hanya bergantung pada hasil panen padi juga kakao. “Terasa lebih berat lagi karena harus di bayar per kartu keluarga. Di kartu keluarga kami ada empat orang, anak sulung saya sudah tidak termasuk karena sudah membina keluarga. Kalau di total, jumlah yang harus saya bayar perbulannya Rp.140.000, namun istri saya selalu meyakinkan. Ia mengatakan ini bentuk investasi kesehatan jangka panjang” ujarnya.
“Keraguan itu hanya berlangsung ketika sehat. Semuanya akan lebih terang ketika kita sakit, apalagi sakit serius seperti saya, pembayaran 35.000 perbulan tidak ada apa apanya, pengeluaran bahkan akan lebih besar jik kita sakit,” tambahnya
Sejak saat itu Udin berkomitmen untuk membayar tepat waktu, apalagi ada anak gadisnya yang membantu.
“Tidak ada kata telat untuk membayar iuran BPJS Kesehatan karena ini sangat bermanfaat. Bukan hanya saya yang merasakan, istri saya yang menderita hipertensi juga bisa rutin memeriksakan kesehatannya di puskesmas terdekat secara gratis. Terimakasih BPJS Kesehatan,” tutupnya
Kini Udin dinyatakan sembuh dari kanker, namun pengobatan rutin masih harus ia jalani. Itu, tidak lagi membebani Udin sebab ada BPJS Kesehatan, teman setia yang selalu menemani dikala sakit. (*)