MAKASSAR, BACAPESAN.FAJAR.CO.ID- Harga cabai rawit di Sulsel acap kali bikin pedas dan panas.
Bagaimana tidak, meski beberapa Kabupaten menjadi pemasok cabai rawit seperti di Kabupaten Gowa, Jeneponto, Takalar, Bantaeng dan Wajo, harga salah satu komoditi langganan inflasi ini selalu berubah ubah, apalagi mendekati perayaan Natal dan Tahun Baru.
Berdasarkan diskusi bertajuk ‘Market Study Komoditas Cabai Rawit di Provinsi Sulsel’ yang di gelar Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Kanwil Regional VI Sulawesi Selatan, Senin (21/11), ditemukan berbagai masalah penyebab fluktuatifnya harga komoditi unggulan Sulsel bercitarasa pedas ini.
Proses distribusi yang panjang menjadikan harga cabai yang diterima petani murah, sedang sampai ke konsumen harganya naik berkali kali lipat.
Saat ini misalnya, harga cabai yang di beli dari petani dikisaran harga Rp 3.500 perkilo, sedang harga di pasaran mencapai Rp30.000 perkilo.
“Dari sisi data, saat ini cabai di Sulsel surplus. Ada ditemukan disparitas harga antara petani dan konsumen cukup yang panjang. Ada pula distribusi cabe rawit untuk memenuhi permintaan pulau lain,” ungkap Kepala Kantor Wilayah VI KPPU, Hilman
Terkait komoditi cabai rawit, petani merupakan tangan pertama yang memproduksi dan menjual cabai. Namun karena tidak adanya informasi harga cabai yang dimiliki, para petani cabai menjual hasil panennya sesuai harga yang diberikan para pengepul. Ini juga yang di alami salah satu Petani di Kabupaten Gowa, Sarifuddin.
“Kami sangat senang jika bisa menjual cabai kami dengan harga yang tinggi. Selama ini kami menjual hasil panen kepada pengepul, harga pun mereka yang memberikan, kami juga tidak bisa apa apa selain menjual,” ucapnya.
Kendala berikutnya ada pada ketahanan komoditi cabai. Para petani di Sulawesi Selatan hanya menjadi produsen cabai mentah tanpa sama sekali melakukan pengolahan.
“Biaya petiknya saja sudah mahal untuk kami memberdayakan orang lain, belum lagi di kasi makan. Makanya kami langsung menjual tanpa melakukan lagi pengolahan seperti mengeringkan,” beber Sarifuddin.
Menurut Kepala Karantina Pertanian Makassar, Lutfie Nasir tidak bisa di pungkiri bahwa cabai Sulawesi Selatan di distribusikan pula ke luar Sulsel.
“Adapun daerah pengiriman cabai meliputi
Kalimantan Timur, Kalimantan Utara Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Kepulauan Riau, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, DKI Jakarta, Jawa Timur, Maluku, dan Banten,” Sebutnya.
Data dari Balai Besar Karantina Makassar mencatat, di tahun 2019 sebanyak 1379.82 Ton cabai rawit di distribusikan, dengan frekuensi pengiriman 2460, kali dan melibatkan pelaku usaha sebanyak 153.
Di tahun 2020 sebanyak 1183.87 Ton cabai rawit di distribusikan dengan frekuensi pengiriman hingga 1213 dan melibatkan pelaku usaha sebanyak 189. Selanjutnya si tahun 2021, sebanyak 1286.60 Ton cabai di distribusikan dengan melibatkan pelaku usaha sebanyak 122. Terakhir di tahun 2022, sebanyak 48351 Ton cabai rawit di distribusikan dengan jumlah pelaku usaha 50.
Hilman berharap melalui forum diskusi yang digelarnya dapat menghadirkan solusi dari permasalahan cabai rawit yang selalu sama dari tahun ke tahun
“Kami berharap dari kegiatan tersebut kami bisa menghadirkan solusi berupa saran pertimbangan untuk mengatasi permasalahan cabai rawit ini,” tutupnya. (*)