ADA yang menarik dari headline yang diturunkan harian Rakyat Sulsel pada Kamis, 26 Januari lalu. Berita utama dengan judul lugas “PPK dan PPS Rawan Disogok”, menguraikan jika tugas anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) bukan perkara mudah. Sebab, paling sering dan rawan digoda oleh pihak yang berkepentingan dalam Pemilu maupun Pilkada.
Dijelaskan, godaan politik uang ini tentu tak lepas dari kepentingan pihak tertentu yang kerap ingin mengubah hasil Pemilu. Di mana penyelenggara tingkat bawah ini yang berpotensi melakukan permainan suara jika salah satu partai atau caleg tidak puas hasil perhitungan di tingkat TPS.
Hal tersebut tentu saja menjadi peringatan dan kewaspadaan bagi setiap penyelenggara, terutama jajaran penyelenggara di tingkat Adhoc, untuk tetap mewaspadai adanya kerawanan godaan politik uang dalam menjalankan tugasnya.
Meski begitu, godaan yang dimaksudkan dan juga sejumlah kerawanan lainnya sepanjang menyangkut pelaksanaan tugas, wewenang dan kewajiban penyelenggara adhoc adalah tantangan yang tentu saja telah mendapat perhatian dan antisipasi oleh seluruh jajaran penyelenggara di setiap tingkatannya. Tidak terkecuali bagi para anggota PPK dan PPS selaku penyelenggara Adhoc.
Sebab merujuk pada persyaratan menjadi penyelenggara PPK, PPS dan KPPS, mensyaratkan calon penyelenggara yang memang memiliki integritas, pribadi yang kuat, jujur dan adil. Sejak awal, faktor integritas, kepribadian serta nilai-nilai jujur dan adil telah dipersyaratkan, selain pelaksanaan seleksi dengan sejumlah tahapan di dalamnya yang dilaksanakan secara selektif, terbuka dan akuntabel. Tak ketinggalan pengawasan publik melalui mekanisme tanggapan dan masukan masyarakat terhadap calon anggota PPK dan PPS.
Sebelum melaksanakan tugasnya dalam Pemilu, anggota PPK, PPS dan KPPS yang terpilih dari proses seleksi juga mengucapkan sumpah/janji. Sumpah/janji tersebut berbunyi, “Saya bersumpah/berjanji, bahwa saya akan memenuhi tugas dan kewajiban saya sebagai anggota Panitia Pemilihan Kecamatan/Panitia Pemungutan Suara/Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara dengan sebaik-baiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Bahwa saya dalam menjalankan tugas dan wewenang akan bekerja dengan sungguh-sungguh, jujur, adil, dan cermat demi suksesnya Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, tegaknya demokrasi dan keadilan, serta mengutamakan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia daripada kepentingan pribadi atau golongan.”
Selain berpedoman kepada sumpah/janji tersebut, penyelenggara Pemilu pada semua tingkatannya juga berpedoman dan menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku serta pakta integritas. Hal tersebut dalam rangka menjaga integritas, kehormatan, kemandirian dan kredibiltas penyelenggara Pemilihan Umum dalam menyelenggarakan Pemilu.
Sebagaimana dirumuskan dalam Peraturan DKPP RI Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilihan Umum, Kode etik Penyelenggara Pemilu adalah suatu kesatuan asas moral, etika, dan filosofi yang menjadi pedoman perilaku bagi Penyelenggara Pemilu berupa kewajiban atau larangan, tindakan dan/atau ucapan yang patut atau tidak patut dilakukan oleh penyelenggara Pemilu.
KPU Kabupaten/Kota melakukan pengawasan internal terhadap anggota PPK, PPS, dan KPPS yang dilakukan terhadap dugaan pelanggaran Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji, dan pakta integritas. Mekanisme penanganan pelanggaran Kode Etik, Kode Perilaku, sumpah/janji, dan pakta integritas yang dilakukan oleh PPK, PPS, dan KPPS telah diatur dalam Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota yang telah beberapa kali diubah dan terakhir dengan Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2022 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Tata Kerja Komisi Pemilihan Umum, Komisi Pemilihan Umum Provinsi, dan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota. Penanganan pelanggaran Kode Etik Badan adhoc lebih detail juga diatur dalam Keputusan KPU Nomor 337/HK.06.2-Kpt/01/KPU/VII/2020 tentang Pedoman Teknis Penanganan Pelanggaran Kode Etik, Kode Perilaku, Sumpah/Janji, dan/atau Pakta Integritas Anggota PPK, PPS dan KPPS.
Di sisi lain, bercermin pada jumlah aduan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) yang diterima Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dalam kurun waktu September-Desember 2022 lalu atau kurun waktu empat bulan pertama keanggotaan DKPP Periode 2022-2027 dilantik, mencapai 89 aduan. Sementara bila merujuk pada data dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu yang berkaitan Pemilu 2019 lalu sebagaimana dipaparkan dalam laporan kinerja DKPP tahun 2019 lalu, jumlah aduan mencapai 1.027. Aduan yang bersentuhan dengan semua tahapan Pemilu 2019 tersebut terbagi pada periode 2018 sebanyak 521 aduan dan 2019 sebanyak 509 aduan.
Dengan demikian, dalam masa tahapan Pemilu 2024 ini, kerawanan atas godaan melakukan pelanggaran dan penyimpangan tetap harus diwaspadai. Kesadaran akan penegakan integritas dan profesionalitas setiap saat bagi penyelenggara Pemilu di semua tingkatannya termasuk jajaran Adhoc, karenanya menjadi keniscayaan. (*)