MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Terus terang, bagi saya menarasikan sosok almarhum Prof. Iskandar Idy dalam sebuah tulisan sejatinya tidak terlalu susah. Namun letak kesulitannya adalah di aspek manakah yang harus ditonjolkan karena hampir semua sisi kehidupan, kepemimpinan dan ketokohan pendiri Rumah Sakit Ibu dan Anak ANANDA itu menonjol dan cemerlang.
Maaf akhirnya, saya coba merangkum dalam lima hal yaitu Prof. Iskandar Idy sebagai Guru Seumur Hidup. Guru atau pendidik adalah orang yang paling berjasa dalam proses memanusiakan manusia. Tidak ada orang sukses tanpa peran guru baik pendidikan formal maupun nonformal.
Guru selalu ditempatkan diposisi yang sangat terhormat dan selalu dikenang. Guru memiliki amal jariyah yang terus mengalir tiasa henti.
Prof. Iskandar Idy adalah alumni Pendidikan Guru Agama, alumni Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin, alumni S2 Manajemen Pendidikan Islam UMI Makassar, dan Program S3 Universiti Tun Abdul Razak malaysia.
Dengan modal ilmu pendidikan dan keguruan itulah, sehingga menurut penuturan almarhum kepada saya, dimana pun Prof. Iskandar Idy bertugas di sana pula beliau mengajar. Rekam jejak pengabdian sebagai guru. Dimulai menjadi guru honor di Madrasah Diniyah di Rappang (1961), Guru Pendidikan Agama Islam di Departemen Agama Kodya Makassar (1967), Asisten Dosen di IAIN Alauddin (1970), Pembantu Dekan Fakultas Dakwah Universitas NU Makassar (1970).
Lalu, Wakil Dekan Sekolah Tinggi Ilmu Sosial al-Gazali Soppeng (1978), Dekan Fakultas Tarbiyah al-Gazali Soppeng (1980), Dosen Pascasarjana Universitas Islam al-Thahiriyah Jakarta (2007), Dosen (guru besar) UIN Alauddin DPK Fakultas Agama Islam UMI Makassar (2008); Ketua Umum Yayasan Perguruan Tinggi al-Gazali Makassar, mengganti Pak Wapres H. Jusuf Kalla (2010-2020).
Selama 59 tahun dari usia hidup 74 tahun Prof Iskandar Idy, berarti 79,7 persen perjalanan hidupnya berada dalam dunia pendidikan sebagai guru, darahnya mengalir jiwa guru dan pendidik, bahkan hingga mencapai gelar sebagai profesor di tahun 2008.
Jabatan tertinggi akademik sebagai profesor yang diraih pastilah dilalui dengan “keringat, darah, bahkan kalau perlu air mata” karena jabatan profesor Iskandar Idy, bukan diperoleh dengan jalur apa yang disebut “honoris causa”.
Nilai kedua. Prof. Iskandar Idy sebagai Manager Profesional. Saya berani memastikan bahwa hampir seluruh sahabat, teman dan jejaring interaksi sosial Prof. Iskandar Idy, mengetahui bahwa almarhum adalah sosok birokrat Departemen Agama yang hebat.
Pergaulannya bukan hanya di ruangan kerja, bukan hanya di madrasah dan pesantren, serta di lapangan lawn tennis, tapi jejaring soisla beliau hingga menembus di lapangan golf. Kita semua pasti mafhum bahwa permainan golf di Indonesia masih dianggap sebagai permainan kaum elit dan superkaya.
Pernah suatu ketika, Prof. Iskandar Idy ditemani istri tercintanya Hajjah Rahmah Iskandar -yang ternyata juga hebat permainan golf- berkata sama saya bahwa permainan golf itu adalah bagus untuk mengelola stabilitas kepribadian seseorang. Pemain golf itu tidak punya lawan, namun lawannya adalah dirinya sendiri, fokus apa tidak. Betul juga pikir saya. (*)