Oleh: Prof Dr Wahyuddin Naro
(Guru besar UIN Alauddin Makassar)
SEBAGAIMANA dipahami bahwa moderasi dalam Islam dikenal dengan kata wasath atau wasathiyah, yang sepadan dengan kata tawassuth berarti (tengah-tengah), i’tidal (adil) dan tawazun (berimbang).
Kata wasathiyah juga diartikan sebagai “pilihan terbaik”. Apapun kata yang digunakan semuanya menunjukkan satu makna yang sama yakni adil, dalam konteks ini berarti memilih posisi yang tidak memiliki keberpihakan di antara berbagai pilihan ekstrem.
Kata wasith bahkan sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kata “wasit” yang sederhananya dimaknai “penengah”.
Moderasi beragama dapat dipahami sebagai cara pandang, sikap, dan perlaku selalu mengambil posisi di tengah-tengah, selalu bertindak adil, dan tidak ekstrem dalam beragama dan menjunjung tinggi keberagaman.
Moderasi beragama dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengalaman agama sendiri (eksklusif) dan penghormatan kepada praktik beragama orang lain yang berbeda keyakinan (inklusif).
Keseimbangan atau ketidak berpihakan dapat menghindarkan kita dari sikap ekstrem yang berlebihan dalam beragama.
Moderasi (wasath) juga berarti adil.
Itu artinya bahwa cara pandang moderat adalah cara pandang yang memiliki sifat dan sikap yang adil, baik terhadap diri sendiri maupun pada orang lain.
Adil terhadap diri sendiri dapat dimaknai sebagai menerima kenyataan dengan kondisi diri yang dengan demikian dapat teraplikasi dengan adil terhadap orang lain, yaitu sikap yang dapat memahami dan menerima kenyataan keberagaman pendapat atau pandangan yang ada pada setiap individu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang melahirkan sikap penghargaan serta menerima terhadap pandangan yang berbeda di masyarakat.
Dalam konteks yang lebih luas, moderasi mengandung makna bahwa warga mayoritas dituntut untuk sedapat mungkin untuk menghargai warga minoritas sebagai implementasi atas sikap adil.
Keadilan dimaksud sebagai kesadaran bahwa setiap orang atau golongan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kehidupan berbanagsa dan bernegara di Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai pengikat kebersamaan dan persatuan.
Seseorang yang moderat selalu memiliki sikap yang berkeadilan, baik terhadap kelompoknya sendiri maupun kelompok lain. Ia tidak diperkenankan memihak hanya karena alasan bahwa orang tersebut adalah berasal dari kelompoknya, tetapi keberpihakannya selalu berdasar pada kebenaran dan keadilan walaupun itu akan bertentangan dengan kelompoknya sendiri
Pandangan moderasi beragama dalam praktiknya seperti dalam keragaman pelaksanaan hari raya idul
fitri tahun 1444 H ini yang harus disikapi dengan saling menghargai masing-masing di antara umat Islam dan diberi hak dan kesempatan yang sama untuk melaksanakannya sebagai implementasi keberagaman pandangan dan sikap yang berkeadilan.
Hal itu juga ditunjukkan oleh Bapak Menteri Agama Gus Yaqut Cholil Qaumas yang menghimbau kepada pemerintah daerah untuk memberi fasilitas kepada mereka yang berlebaran tanggal 21 april 2023. Dengan demikian, moderasi juga meniscayakan adanya persatuan yang melahirkan harmoni di antara kelompok masyarakat.
Olehnya itu, moderasi bukan hanya mengandung makna memiliki pandangan yang seimbang, tetapi ia harus dibarengi dengan sikap yang berkeadilan. (*)