MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Baju bodo moncong bulo dipadu dengan kain Sutera khas Sulawesi membalut boneka dengan ukuran sepersekian senti.
Tidak ketinggalan aksesoris berupa kalung, bando bahkan gelang melengkapi mewahnya pernak pernik yang menggambarkan budaya Bugis Makassar. Semuanya direpresentasikan lewat sebuah boneka, dan siapa sangka boneka elok ini terbuat dari kain perca.
Di tangan Diah Saraswati (56) seorang ibu pensiunan Garuda Indonesia, kain perca mampu disulap menjadi boneka dengan nilai jual yang tinggi. Tidak tanggung-tanggung, permintaan dari luar negeri atau bahkan menjadi oleh-oleh selalu saja membanjiri.
Berawal dari kunjungannya ke luar negeri kemudian menyaksikan pameran boneka dari setiap negara, Diah kemudian tergerak. Galeri boneka Indonesia yang hanya menampilkan reok membuatnya prihatin. Sebab menurutnya kekayaan budaya Indonesia tak bisa di representasikan hanya dengan reok.
“Indonesia memiliki banyak sekali boneka mulai dari reok, jelangkung, si Unyil dan masih banyak lagi,” ucapnya saat ditemui di tenan gelaran Makassar Internasional Halal Trade and Bussiness (MIHRAB) di Sandeq Ballroom Hotel Claro Makassar Kamis (6/7/2023)
Dari kunjungan tersebut, Diah lantas menyibukkan diri dengan riset dan buku-buku seputar budaya yang kemudian di hadirkan lewat boneka.
Kira-kira 8 tahun, Diah menggeluti dunia kain perca dan limbah. Mencoba memanfaatkan bahan-bahan yang bagi sebagian orang hanya sampah belaka. Hasilnya tentu tak menghianati proses, menjadi boneka indah bernilai jual tinggi.
Bukan Diah namanya jika berhenti sampai mampu membuat 20 boneka dalam seminggu, mahir tak lantas membuatnya puas. Membawa misi pemberdayaan dan pelestarian budaya, Diah menyisir wilayah
Indonesia Timur dan mengajar ibu rumah tangga membuat boneka dari kain perca dan limbah.
“Saya sudah ke Sumba, Makassar, bahkan ke Papua untuk mengajar mama-mama di sana membuat boneka. Mereka semua sangat senang karena sebelumnya mereka hanya membuang kain perca. Saat ini mereka sudah bisa memasarkan bonekanya dan menjadi salah satu kata pencaharian” beber Diah sambil menunjukkan gambar boneka Papua karya muridnya.
Bagi Diah kebahagiaan yang sebenarnya saat ilmu yang dimiliki bermanfaat bagi sesama, “Tidak ada yang sulit, intinya mau belajar. Ada contoh, ada pelatihan,” pungkasnya
Diah juga mengajak ibu-ibu di luar sana untuk terus semangat dan melestarikan budaya. “Semangat, tidak ada kata tidak bisa,” tutupnya. (Hikmah/B)