MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menuai kontroversi. Dimana putusan tersebut dinilai penuh dengan kepentingan politik demi memuluskan Gibran Rakabuming Raka untuk lolos menjadi calon wakil Presiden 2024 mendatang.
Direktur Profetik Institute, Muhammad Asratillah mengatakan, jelang putusan sudah mencium gelagat bahwa Gibran akhirnya akan bisa mencalonkan diri sebagai Cawapres di Pilpres 2024.
“Apalagi setelah MK mengabulkan gugatan pihak yang menginginkan bahwa tidak soal jika cawapresnya berumur dibawah 40 tahun asal pernah menjabat sebagai kepala daerah,” katanya.
Dirinya menyebutkan putusan MK ini mengundang respon publik yang kurang baik. MK menganggap ada semacam ‘pengaturan ke dalam’ soal putusan MK tersebut. “Dan ini tentunya akan mengurangi trust publik kepada MK,” ucapnya.
Sehingga diharapkan MK mesti menjelaskan secara detail dan sederhana ke publik soal putusannya kemarin, yang memang terasa janggal bagi publik.
“Percaya tidaknya publik ke MK, akan berpengaruh kepada percaya tidaknya publik kepada supremasi hukum. Dan juga akan berpengaruh terhadap rasa percaya publik pada penyelenggaraan negara,” ujarnya.
Selain itu, para elit politik mesti menahan diri untuk tidak mempertontonkan manuver politik yang melanggar prinsip-prinsip demokrasi.
“Intervensi yang terlalu dalam dalam lembaga yudikatif, lalu dengan banal mempromosi keluarga sendiri, termasuk pengangkatan ketua partai dengan proses karbitan, adalah praktik politik yang kurang etis dipertontonkan kepada publik,” jelasnya.
Pengamat Politik Universitas Muhammadiyah (Unismuh) Makassar, Andi Luhur Prianto mengatakan Putusan MK benar-benar menjadi ujian bagi pelembagaan demokrasi substantif.
“Runtuh sudah kepercayaan publik pada lembaga-lembaga demokrasi baru. Setelah KPK, MK telah kehilangan wibawa sebagai the guardian of constitution,” ujarnya.
“Pasca putusan ini, MK akan mengalami public distrust yg dahsyat. Stereotyping sebagai Mahkamah Keluarga semakin menemukan kebenarannya,” lanjutnya.
Andi Luhur juga menyebutkan demokrasi elektoral yang kita bangun memang berbeda dengan demokrasi liberal ala Barat.
“Basis paternalistiknya masih dilembagakan dalam UU, dalam bentuk pembatasan usia pemimpin politik. Putusan MK ini semakin membuka jalan pada perluasan demokrasi liberal,” jelasnya. (*/raksul)