Terkait reklamasi, Febriany menjelaskan, bagaimana perusahaan melakukan reklamasi atau pemulihan lahan bekas tambang. Vale tidak melakukan pembukaan lahan besar-besaran ketika melakukan proses eksplorasi.
“Kita reklamasi progresif. Bukit yang ingin kita tambang biasanya prosesnya 4 sampai 5 tahun. Itu terlebih dahulu kita pecah menjadi kompartemen-kompartemen kecil. Jadi kompartemen yang kita butuhkan saja yang dibuka atau dieksplorasi. Begitu satu kompartemen selesai ditambang, langsung direklamasi dengan cara ditanami pohon dan dihijaukan. Jadi aktivitas tambang dan proses reklamasi ini berdampingan,” papar Febriany.
Untuk reforestasi di luar kawasan tambang, Febrianny menjelaskan Vale sudah menanam 16 juta pohon di luar area tambang. Dua jutanya adalah pohon lokal dan sisanya pohon-pohon endemik. “Kita juga ada konservasi kayu hitam atau eboni di Sorowako, sudah ada 75 ribu pohon eboni,” ungkap dia.
Febriany juga memaparkan terkait air limpasan tambang. Untuk masalah ini, Febrianny mengundang berbagai pihak untuk datang ke Vale dan melihat Danau Matano yang jernih, meski air limpasan tambang PT Vale mengalir ke danau tersebut.
Dalam forum tersebut, Febriany Eddy juga menjawab kekhawatiran banyak pimpinan perusahaan bahwa menjalankan prinsip-prinsip ESG itu membutuhkan biaya yang mahal. Menurut Febry, investasi untuk mewujudkan industri yang ramah lingkungan itu justru hasilnya bisa dinikmati dan bisa menghemat.
“Kami ingin menggunakan kesempatan ini untuk menunjukkan, bahwa investasi terkait sustainability itu tidak mahal. Kami mengeluarkan investasi yang sangat besar untuk mengoperasikan tiga pembangkit tenaga air atau PLTA (untuk mengoperasikan industri smelter). Namun ketika harga minyak tinggi, batu bara tinggi, kita bisa menghemat banyak sekali biaya,” ungkapnya.
Dengan tiga pembangkit bertenaga air yang ramah lingkungan itu pula, PT Vale bisa mengeliminir paling tidak 1 juta ton karbon per tahun. “Kalau bisa diupgrade akan kita lakukan,” ucap Febriany.
Dalam kesempatan tersebut, Febrianny juga mengungkapkan bagaimana pemikirannya terkait upaya memerangi perubahan iklim. Salah satunya adalah memaksimalkan stakeholders yang terkait.
“Saya dulu belajar finansial, kita belajar bagaimana memaksimalkan shareholders value. Sekarang, yang kita harus maksimalkan adalah stakholders value atau pemangku kepentingan. Jadi membangun ekonomi dan menghadapi perubahan iklim ini kita butuh kerja sama stakeholders, bukan cuma shareholders,” tutupnya. (Hikmah)