Pajak Hiburan Hingga 75 Persen Dinilai Tidak Masuk Logika

  • Bagikan
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Sulsel, Anggiat Sinaga

“Sekarang yang profesional menyanyi akan mati juga, sebab sudah tidak ada panggung untuk mereka. Ini yang harus diperhatikan pemerintah. Segera pemerintah, Menko harus ambil keputusan, ini tidak masuk akal,” tambahnya.

Yang terburuk menurut Anggiat, situasi ini bisa berujung pada pemutusan tenaga kerja. “Walau pemerintah mengatakan itu bukan kau yang bayar tetapi dengan menaikkan 75 persen, siapa yang akan datang sebab pastinya harga aka naik, spending power masyarakat tidak mampu,” ungkapnya.

Lebih jauh, Anggiat berharap pemerintah bisa berkaca pada negara-negara tetangga yang saat ini maju dalam hal pariwisata.

“Coba liat negara lain, Thailand justru menurunkan pajak hiburan menjadi 5 persen. Singapura 10 persen, Malaysia 10 persen dan tiba tiba Indonesia 75 persen, wow. Harapan kami, pak Presiden segera mencabut Perpu, mau mati say ini, mau nangis saya.” ujarnya.

“Sekarang ini kita berjuang untuk judicial review agar aturan itu di rubah. Minggu depan kami atur waktu untuk ketemu pak Wali dan juga DPRD Makassar untuk menyuarakan seperti apa harapan industri, PHRI, Asosiasi Hiburan Makassar, dan Asosiasi Spa. Ini tidak masuk akal sekali logika saja dulu, logika” tambah Anggiat.

Sejalan dengan itu, Ketua Asosiasi Usaha Hiburan Malam (AUHM) , Zulkarnaen Ali Naru berpendapat Perda yang mengatur Pajak dan Retribusi Daerah ini terkesan tidak melibatkan pihak pengusaha, hingga secara sepihak dan tiba-tiba disahkan dengan ketetapan pajak hingga 75 persen.

“Ini sangat tidak manusiawi, disaat industri hiburan baru mulai bangkit dari keterpurukan akibat Pandemi selama dua tahun lebih. Jadi ini juga sangat kami sesalkan ” pungkas Zul.

Menurutnya, didalam menetapkan undang-undang, termasuk UU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD), sebenarnya pemerintah pusat telah menyiapkan aturan yang bersifat futuristik dalam menetapkan ketentuan pajak ‘antara’ 40 persen hingga 75 persen.

“Aturan yang bersifat futuristik ini untuk mengantisipasi perkembangan UU itu berjalan 10 hingga 20 tahun ke depan. Jadi selayaknya, Pemkot dan DPRD tidak secara langsung menetapkan pajak hiburan hingga 75 persen, melainkan bisa secara bertahap. Ini kok besaran pajaknya langsung ke titik akhir sebesar 75 persen, jelas akan mematikan industri hiburan kedepannya,” imbuh Zul.

Zul mengaku pihaknya bersama sejumlah asosiasi hiburan yang ada di kota/kabupaten lainnya kini tengah mempersiapkan upaya pengajukan Judicial Review ke MK terhadap UU HKPD.

“Sementara kami persiapkan materi untuk diajukan ke MK, menyusul upaya teman-teman asosiasi hiburan lainnya di sejumlah wilayah Indonesia,” tutupnya. (Hikma)

  • Bagikan

Exit mobile version