Chaidir Syam, Bercita-cita Jadi Dokter dan Tentara, Jadi Bupati Maros

  • Bagikan
A.S.Chaidir Syam menerima ucapan selamat Ultah dari Sahabatnya Bachtiar Adnan Kusuma

MAROS, BACAPESAN.COM – Hari ini tepat, 47 tahun A.S.Chaidir Syam (Dr.H.A.S.Chaidir Syam, S.IP.M.H.), lahir 2 Februari 1977. Ini adalah cerita cinta, tentang dua insan. Allah pertemukan mereka dalam ikatan suci. Yang jejaka namanya Andi Syamsuddin. Lalu sang dara adalah Andi Nadjemiah. Keduanya masih ada hubungan kekerabatan. Cukup dekat. Andi Syamsuddin dan Andi Nadjemiah adalah sepupu. Sepupu itu bukan saudara yang serasa saudara. Bukan saudara dalam makna, dia bukan lagi mahram kita. Namun serasa saudara. Karena kekerabatan yang sangat dekat.

Perjalanan cinta, biasanya tidak mulus. Ada saja rintangannya. Justru ini yang membuat kisahnya semakin seru untuk dicerita. Ada sekian banyak rintangan yang coba menghalangi cinta Andi Syamsuddin dan Andi Nadjemiah. Agaknya Nadjemiah ini adalah wanita primadona. Andi Syamsuddin, salah satunya.

Pernikahan antara Andi Syamsuddin dan Andi Nadjemiah terlaksana. Di lingkaran keluarga Nadjemiah, seperti ada aturan yang dipegang teguh. Tidak boleh menikah kecuali dengan keluarga sendiri. Beberapa masyarakat Bugis memang masih memegang tradisi seperti itu. Itupun harus berdasarkan pilihan orang tua. Mirip-mirip cerita Siti Nurbaya. Waktu itu anak-anak yang dijodohkan tidak membangkang. Mereka yakin orang tua akan memilihkan yang terbaik.

Adalah Andi Nadjemiah, putri seorang bapak bernama Andi Baso Petta Tunru anak lelaki dari pasangan Petta Nompo dan Sakka Petta Sinnong. Kalau dilihat dari latar belakangnya, Andi Nadjemiah berasal dari keluarga yang sederhana yang untuk urusan ekonomi boleh dikata berkecukupan. Bapaknya adalah petani dan ibunya seorang pedagang kelontongan. Dari hasil bertani dan berbisnis itu, roda ekonomi keluarga bisa berputar. Andi Nadjemiah bisa sekolah, juga hasil dari situ, bertaninya sang bapak dan berdaganganya sang ibu.

Nah, cerita tentang Andi Nadjemiah dan Andi Syamsuddin (almarhum), diurai kembali A.S.Chaidir Syam, dalam bukunya “ Mendekap Maros” yang penulis susun (Bachtiar Adnan Kusuma, Sang Tokoh Literasi Nasional). Inilah cerita, A.S.Chaidir Syam. “Saat saya dilahirkan, ternyata terlilit oleh ari-ari. Melilit hingga keleher yang menyebabkan saya sulit bernafas, ini kondisi yang genting: demikian seuntai kisah penggal Andi Chaidir Syam. Ayah dan ibu Chaidir Syam, resmi menjadi pasangan sah di Bulan Maret 1976. Kurang lebih setahun setelahnya, Allah bermurah hati menghadirkan Chaidir Syam ke dunia, lewat pertemuan keduanya. Tanggal 2 Februari 1977, mereka resmi dikaruniai anak. Anak lelaki kesatu dan satu-satunya. Karena setelahnya Chaidir Syam lahir tidak lagi memiliki adik. Dikata orang, anak semata wayang. A.S. Chaidir Syam adalah satu-satunya putra dari pasangan Andi Syamsuddin dan Andi Nadjemiah.

Chaidir Syam menceritakan, kalau Ibu sempat bercerita, tentang beberapa kejadian unik yang beliau alami selama mengandung . Mulai dari soal makanan. Selama mengandung, ibu hanya bisa makan pepaya masak dan mangga yang bagus. Selain asupan tersebut, tidak bisa ditelannya.Katanya saya yang waktu itu masih mendiami perut ibu, akan menolak kalau ditawari makanan selain pepaya atau mangga golek. Mangga yang kurang sempurna bentuknya pun akan saya tolak. Calon bayi yang merepotkan, ya. Saya tidak mau berspekulasi tentang pepaya masak dan mangga yang sempurna. Apalagi mencocok-cocoknya dengan fenomena kehidupan.

Hingga hari yang dinanti itu tiba. Bayi yang ditunggu-tunggu itupun lahir ke dunia. Melalui perjuangan yang tidak mudah. Bayi mungil itu lahir di Bone. Sesuai permintaan orang tua bunda Nadjmiah. Chaidir, nama yang dihadiahkan kepadanya. Ya, Chaidir Syam. Bayi itu adalah aku, A.S.Chaidir Syam.

Ayah memberikanku nama Chaidir. Ini juga ada ceritanya. Dulu salah satu dokter yang merawat ibu sewaktu mengandung adalah Dokter Chaidir. Ayah memberikanku nama Chaidir dengan harapan semoga kelak bisa menjadi dokter juga. Kemudian kakek memberikan tambahan nama; Syafril. Alasannya karena saya lahir di bulan Syafar. Kalau di Maros saya dipanggil Chaidir. Sedangkan di Bone lebih dikenal dengan Syafril.

Baru beberapa hari lahir, saya langsung dibawa ke Maros. Di sana pesta aqiqah akan digelar. Jadi boleh dikata, saya hanya numpang lahir di Bone. Perjalanan hidup selanjutnya akan banyak berlangsung di Maros. Sejak TK sampai SMA, semuanya saya selesaikan di Maros. Sejak kecil saya sudah diajari hidup mandiri. Tidak bergantung kepada orang tua. Sejak SD saya sudah dititipkan kepada paman saya yang bernama Andi Masykur Petta Nasse. Beliau menetap di Maros. Tepatnya di Kassi Kebo, Desa Baju Bodoa.

A.S. Chaidir, nama yang terambil dari seorang dokter. Sederhana saja harapan ayah mengambil nama itu, agar kelak anaknya bisa menjadi dokter. Namun terkadang harapan orang tua, harapan anak dengan kenyataan, tidak segaris lurus. Beberapa orang pun heran, ketika menginjak dewasa saya tidak memilih jalan hidup sebagai seorang dokter. Tapi seorang politisi. Sungguh, dua dunia yang jauh berbeda.

Kini, A.S. Chaidir Syam yang dipersiapkan jadi dokter, faktanya menjadi Bupati Kabupaten Maros. Tak heran kalau sedari kecil memang tanda-tanda untuk menjadi dokter, sepertinya tidak ada. Kalau disodori permainan yang berhubungan dengan dokter, Chaidir Syam kurang senang. Dan memang tidak begitu lumrah untuk anak kecil di masa itu. Justru Chaidir Syam begitu antusias ketika ditawarkan mainan pistol-pistol. Seperti merasakan menjadi lelaki seutuhnya kalau sudah memegang pistol. Meskipun itu hanya mainan. Dan pelurunya pun dari air. Pistol air, permainan yang menjadi primadona.Apalagi kalau ditambah dengan seragam tentara. Luar biasa. Merasa gagah sekali.

“Saya ingat sekali, ada foto yang mengabadikan momen bersejarah itu. Berseragam tentara dengan memegang pistol air. Sempat saya bercita-cita ingin jadi tentara. Ya, cita-cita anak-anak pada umumnya. Sementara dokter, belum terbesit” kenang A.S.Chaidir Syam kepada Bachtiar Adnan Kusuma, yang ditulis dalam bukunya” Mendekap Maros”. (*)

  • Bagikan