MAKASSAR, BACAPESAN.COM — Film Dirty Vote memaparkan sejumlah kejanggalan di balik perubahan Undang-undang Pemilu yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres). Termasuk peristiwa kunci gugatan yang diajukan Almas Tsaqibbirru.
Dirty Vote merupakan sebuah film dokumenter yang digagas oleh tiga ahli hukum tata negara. Film yang mengungkap berbagai instrumen kekuasaan telah digunakan untuk tujuan memenangkan pemilu dan merusak tatanan demokrasi.
Akar masalah yang diungkap tiga ahli hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari dalam film Firty Vote adalah saat Mahkamah Konstitusi (MK) membahas perkara uji materi UU Pemilu tentang batas usia capres cawapres.
Zainal Arifin Mochtar mengungkapkan, pada 29 September 2023 terjadi peristiwa kunci dalam kasus gugatan Almas Tsaqibbirru di MK.
“Entah karena alasan apa Almas Tsaqibbirru mencabut permohonannya. Sehari kemudian permohonan dimasukkan kembali padahal itu hari Sabtu atau hari libur,” ungkap Zainal Arifin Mochtar.
Pada hari libur tersebut, Ketua Mahkamah Konstitusi, Anwar Usman berkantor serta meminta panitera untuk masuk kerja. Anwar Usman adalah ipar Presiden Joko Widodo sekaligus paman Gibran Rakabuming Raka yang belakangan menjadi cawapres Prabowo Subianto.
Menurut Zainal, saat penetapan atau pencabutan penetapan dikeluarkan, seharusnya dilakukan pembacaan sidang penetapan pencabutan perkara.
Biasanya kalau dicabut bukannya dikeluarkan cepat penetapan ya, itu uniknya perkara ini sehingga disebut kunci,” lanjut Zainal.
Nah, yang aneh di sini, ungkap Zainal, prosedur itu tidak terjadi. Malah kemudian digelar sidang yang berbeda pada tanggal 3 Oktober.
“Disebut berbeda karena sidang ini disebut sebagai sidang konfirmasi permohonan Almas, kemudian menyatakan bahwa sebenarnya dia tidak punya keinginan untuk mencabut, tetapi itu keinginan kuasa hukumnya,” tutur Zainal dalam film Dirty Vote yang ditayangkan di kanal Youtube yang sama pada 11 Februari.
Pada saat yang sama, sidang konfirmasi permohonan tidak ada dalam hukum acara MK. “Jadi ini disebut unik, karena memang tidak terdapat di dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi,” jelas Zainal.
“Nah, setelah praktik tidak ada dalam hukum acara itu, karena kasus Almas tetap dilanjutkan atau permohonan Almas tetap dilanjutkan, masuklah RPH (rapat pemusyawaratan hakim) kedua permohonan Almas,” lanjutnya.
Saat itu Anwar Usman masih berpartisipasi dalam RPH, yang akhirnya dilakukan sampai tiga kali.
“Biasanya RPH berulang kali itu adalah tanda bahwa permohonan itu memang njelimet atau ada pertarungan perkara yang penting, atau barangkali karena memang pemohon menghadirkan sebuah logika yang canggih dan pembuktian yang luar biasa,” beber Zainal.
Zainal mengemukakan pendapatnya bahwa tak ada logika argumentasi yang memadai bahwa gugatan uji materi ini perlu diperdebatkan secara hukum, bahkan sampai menggelar RPH untuk membahas permohonan.
Dia lanjut memaparkan, sidang yang ada adalah hakim sibuk memperdebatkan permohonan Almas saja. Akan tetapi tidak pernah membuka itu ke publik dan itu dilakukan berulang kali karena sidang substansi sudah selesai di tanggal 29 Agustus. (fajar online)