MAKASSAR, BACAPESAN.COM – Hari ini, Sabtu, 18 Mei di kota Hartford, Connecticut, Amerika Serikat, kota tempat saya sedang belajar. Tadi pagi, saya mendapat kabar duka atas wafatnya Bapak Prof. Dr. Salim Haji Said. Saya berusaha mengingat beberapa momen menyenangkan, sejak mengenal hingga wafatnya Pak Salim Said. Tulisan ini menjadi bukti kami memiliki hubungan baik, saya memposisikan diri sebagai junior atau muridnya beliau, kebetulan satu asal kampung halaman, Sidrap, Sulawesi Selatan. Saya juga mengenal adiknya, Almarhum Muhammad Ali Said, mantan juru foto Harian Republika.
Saya mengenal Pak Salim Said di Jakarta, sekitar tahun 2000-an di sebuah acara pementasan seni tari asal Sulawesi Selatan. Panitia menghadirkan dan meminta Pak Salim Said mengomentari jejak dan asal pengaruh kreasi lahirnya Tari Padduppa (Tari Penyambutan Tamu). “Tarian ini memiliki kemiripan dengan tarian dari India, pakaiannya gemerlap,” katanya ketika itu. Di kesempatan lain, Pak Salim bilang ke saya, “Tarian Bugis-Makassar itu perlu diperkaya dengan gerakan kreasi baru supaya indah ditonton. Jika tidak, hanya satu yang menonjol, pakaiannya gemerlapan.”
Suatu hari di bulan Oktober atau November 2004, saya kembali ketemu Pak Salim di kantor Wakil Presiden era Bapak M. Jusuf Kalla (JK). Hari itu, Pak Salim datang bersama kru TVRI untuk interview Pak JK sebagai Wakil Presiden baru dilantik. Ia menyapa Pak JK, “Pak Ucu,” karena keduanya sahabat,” ketika ia mensetting dan memandu rekaman interview.
Pak Salim dikenal sebagai wartawan berbakat, di samping sebagai pengamat seni, juga sebagai penulis otoritatif dinamika politik, hubungannya dengan peran militer dan berbagai perkembangan politik internasional. Dia sering tampil di layar TV sebagai presenter, komentator, atau narasumber. Saya hadir di dua momen peluncuran bukunya, tentang Sejarah Militer dan Orde Baru di Indonesia, di Aula Perpustakaan Nasional Jalan Salemba Raya dan di salah satu gedung milik TNI Angkatan Laut di kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. Di dua momen itu, saya ketemu, salaman, dan mendengar komentar bahagianya karena bukunya baru terbit dan diluncurkan. Setelah itu, saya mengambil jarak, memberikan kesempatan tamu-tamunya bersalaman Pak Salim Said.
Satu momen lainnya, di bulan April 2015, saya bersama ratusan perantau asal Sidrap di Jakarta, mendeklarasikan dan dilantik sebagai Pengurus Besar Keluarga Bugis Sidenreng Rappang (PB KEBUGIS) di Auditorium Manggala Wanabakti, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jalan Gatot Subroto. Ketika itu ada ratusan tamu dari kalangan pembesar Indonesia yang memiliki hubungan kultural dan emosional dengan Sulawesi Selatan, salah satunya adalah Pak Salim Said. Saya menyapa beliau. Saya melihat beliau bahagia bisa jumpa dan reuni beberapa kawan lamanya. Hari itu, kami bagi stiker, “Keluarga Bugis Sidenreng Rappang.” Beberapa hari kemudian, dalam sebuah pertemuan, Pak Salim hadir dan menunjukkan saya stiker itu ditempel di sudut kanan mobilnya. Saya menilai beliau selalu merasa senang sebagai orang Bugis Sidrap.
Dugaan itu mendapatkan pembenaran ketika suatu hari Bapak H. M. Alwi Hamu berkisah bahwa, “Pak Salim ini orang Bugis Sidrap, putrinya bernama “Amparita,” panggilan Rita. Di kampung kami, Sidrap, memang terdapat nama sebuah “Kelurahan Amparita,” Kecamatan Tellu Limpoe, asal orang tua Pak Salim Said.
Ketika Pak Salim Said menjadi Duta Besar Republik Indonesia (RI) tahun 2007-2009 di Cekoslovakia, Ibukota Praha. Saya beberapa kali berkomunikasi via email. Suatu hari, menjelang Hari Ulang Tahun RI, Pak Salim kirim email saya bahwa, “Saya meminta staf KBRI dan warga Indonesia di Ceko untuk memakai baju adat daerah masing-masing, termasuk dari Papua, jika ada yang bawa, boleh memakai koteka.”
Sepulang dari Praha, saya menawari menulis dan menerbitkan buku pengabdian dan pengalaman selama menjadi Duta Besar. “Saya sedang mencari waktu untuk menulisnya,” jawabnya. Saya berharap buku itu sudah ditulisnya, walaupun belum sempat saya tanyakan hingga wafatnya.
Saya teringat momen lainnya ketika Pak Salim bercerita kepada saya tentang rencananya umrah dan penambahan nama “Haji” di paspornya. “Saya ini baru saja mengurus paspor karena mau umrah. Nama saya hanya dua kata dan itu sudah banyak kesamaannya, saya diminta menambahkan satu kata, saya tambahkan “Haji” karena Bapak saya adalah seorang haji. Namaku sekarang adalah Salim Haji Said, sambil terkekeh.
Ketika saya sudah mendapatkan Letter of Acceptance (LoA) untuk kuliah program magister di kota Hartford. Saya sampaikan ke Pak Salim Said. Beliau menduga saya akan kuliah di kampus Stanford. “Itu kampus bagus, tidak banyak orang bisa kuliah di sana, dan berbahagialah Anda bisa kuliah di sana,” katanya. Stanford itu di California. Belakang, saya sampaikan bahwa kampus saya di kota Hartford, Connecticut, antara New York dan Massachusetts. Pak Salim mengenal banyak sistem pendidikan di Amerika karena ia meraih gelar master dan doktornya dalam bidang ilmu politik di Ohio State University.
Menjelang Lebaran Idul Fitri kemarin, 8 April 2024, Pak Salim Said mengirimkan saya ucapan Selamat Idul Fitri 1445. Saya senang dan membalas pesan WhatsApp-nya. Ketika mereview tulisan ini, saya buka video kirimannya, teksnya berbunyi, “Saya tidak menunggu hari Raya Idul Fitri tiba untuk mengungkapkan segenap rasa maaf karena hembusan nafas pun saya tak pernah tahu bila akan berhenti. Maka izinkan dengan postingan ini, saya dan keluarga memohon maaf segala salah dan khilaf atas lisan yang tajam, ucapan yang menusuk, hati yang kotor, perilaku yang menyinggung, dan sikap yang menyakiti…”
Kisaran dua minggu setelah Lebaran itu, saya mendapat kabar bahwa Pak Salim sedang sakit. Dalam dua minggu terakhir ini, beredar lagi informasi bahwa Pak Salim Said sedang dirawat di Ruang ICU RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Terakhir, hari ini, Sabtu pagi, waktu Hartford, saya mendapat kabar duka dari beberapa tiga orang yang kenal baik di Indonesia: Irjen Pol (Purn) Dr. M. Said Saile; Ir. Agus Benteng, dan Salam Dalle, S.H., “bahwa Pak Salim Said telah wafat.” Seketika itu, saya baca di beberapa WAG, betul adanya berita duka itu. Saya pun berusaha mengingat dan menulis momen-momen perkenalan, pertemuan, dan mendengar kisah-kisah dan komentar-komentar Alm. Pak Salim Said yang memakai selalu bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Sebagai junior dan satu asal kampung halaman almarhum Bapak Prof. Dr. Salim Haji Said, saya selalu merasa nyaman ketika bertemu dan berkomunikasi dengannya. Pada suatu malam, saya ke rumahnya dengan beberapa teman, di komplek Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Pak Salim berbagi kisah, “Saya dapat beli rumah ini karena saya adalah wartawan.”
Setelah tulisan hampir selesai, saya membaca biografi singkatnya. “Prof. Dr. Salim Haji Said, lahir di Parepare, Sulawesi Selatan, 10 November 1943, berprofesi sebagai pengajar atau akademisi, penulis, pengamat seni, politik, militer.
Saya ikut mendoakan Pak Salim Haji Said mendapatkan tempat yang lapang, bercahaya, dan ampunan dari Allah.
Hartford, CT, 18 Mei 2024