BACAPESAN.COM – Tanggal 22 Mei 2024 menjadi saksi bisu dari sebuah ironi besar di depan Markas Polrestabes Makassar. Aksi damai yang digelar oleh Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Kota Makassar untuk menyuarakan “Stop Tindakan Represif Kepada Massa Aksi dan Kriminalisasi terhadap Aktivis” berujung pada pembubaran paksa yang mencederai prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Aksi ini bukanlah yang pertama. Pada 13 Mei 2024, PMII sudah menggelar aksi serupa, namun sayangnya, tuntutan mereka tidak digubris. Kecewa dengan sikap arogansi Kapolrestabes Makassar, PMII kembali turun ke jalan, berharap adanya dialog yang konstruktif. Namun, harapan ini justru dibalas dengan tindakan represif yang berlebihan.
Ketua PMII Kota Makassar, Ma’ruf Pangewa, menyebut pembubaran paksa ini sebagai tindakan kejahatan terhadap hak warga negara dalam menyampaikan pendapat di muka umum. “Niat baik kami untuk berdiskusi malah direspon dengan pembubaran paksa yang berlebihan,” tegasnya.
Aksi yang dimulai dengan damai sekitar pukul 15.30, dengan longmarch dari titik kumpul menuju Markas Polrestabes, berubah drastis pada pukul 17.00. Puluhan anggota polisi mulai mengelilingi massa aksi, dan pada pukul 17.06, tindakan represif dimulai. Anggota polisi merampas perangkat aksi, melakukan tindakan fisik yang berlebihan, dan menggunakan alat setrum. Beberapa anggota KOPRI (Korps PMII Puteri) terlihat terjatuh dan mengalami kekerasan.
Apa yang salah dengan menyuarakan pendapat? Mengapa tindakan kekerasan selalu menjadi jawaban terhadap seruan dialog dan mediasi? Polisi, sebagai penjaga keamanan dan ketertiban, seharusnya menjadi fasilitator diskusi yang damai, bukan menjadi aktor kekerasan yang merusak citra institusi dan menodai nilai-nilai demokrasi.
Represi yang terjadi tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga melanggar Pasal 11 Peraturan Kapolri No. 8 Tahun 2009 tentang penggunaan kekuatan oleh anggota Polri. Ini jelas menunjukkan kegagalan Kapolrestabes Makassar dalam memimpin dengan cara yang humanis dan bijaksana.
Ma’ruf Pangewa dan para kader PMII Kota Makassar bukan hanya menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap tindakan represif yang terjadi, tetapi juga menunjukkan betapa pentingnya dialog dan pendekatan humanis dalam menangani aksi demonstrasi. “Ada beberapa sahabat yang terluka karena dipukul, terjatuh, dan disetrum. Saya pun sempat mendapat pukulan dari belakang dan dipiting ke dalam kantor,” tambahnya.
Kejadian ini seharusnya menjadi cermin buram bagi kita semua tentang kondisi demokrasi di negeri ini. Aksi damai yang berujung kekerasan bukanlah cerminan dari negara yang menjunjung tinggi kebebasan berpendapat. Sebaliknya, ini adalah tanda bahwa kita masih harus berjuang keras untuk memastikan bahwa hak asasi manusia dihormati dan dilindungi.
Kepolisian dan pemerintah perlu introspeksi dan mereformasi pendekatan mereka terhadap aksi-aksi damai. Tidak ada tempat bagi kekerasan dalam demokrasi. Kita harus mendengarkan suara rakyat, terutama suara para pemuda yang berani menyuarakan keadilan. Hanya dengan begitu, kita dapat membangun masyarakat yang benar-benar demokratis dan berkeadilan.
Mari kita jadikan insiden ini sebagai pelajaran penting. Dialog, bukan kekerasan, adalah kunci untuk menyelesaikan perbedaan pendapat. Dan hak untuk menyuarakan pendapat harus dihormati dan dilindungi, bukan dibungkam dengan cara-cara represif.