Oleh BARSIHANNOR Guru Besar Pemikiran dan Filsafat Islam UIN Alauddin Makassar
Teknologi digital dengan segala produknya benar-benar menjadi kebutuhan dasar. Bahkan bisa menjadi “dewa” dalam kehidupan manusia.
Tulisan ini merupakan intisari dari orasi pengukuhan Guru Besar saya yang dilaksanakan hari ini, Selasa, 28 Mei 2024, dalam sidang Senat Terbuka Luar Biasa UIN Alaudin Makassar.
Tulisan ini ingin memotret kondisi dan perubahan zaman yang terjadi saat ini, dan bagaimana epistemologi Islam menghadapi tantangan modernitas dan perubahan zaman. Saat ini masyarakat sedang memasuki era disrupsi digital. Sebuah era yang menempatkan peran manusia perlahan, namun pasti, mulai digantikan oleh peran mesin. Profesi, seperti resepsionis hotel, ticketting, akuntan, bank teller, customer service, buruh pabrik, sopir, dan bahkan penceramah atau guru/dosen diambil alih oleh mesin berbasis arti¿cial intellegence (AI).
Pada 2023, The Conversation.com merilis sejumlah robot berbasis AI di Gereja St. Paulus, Bavaria, Jerman menyampaikan khutbah di hadapan sekitar 300 jemaah. Hal yang sama terjadi di kuil Kodai-ji Buddhist Temple di Jepang yang menampilkan robot
arti¿cial intelligence Biksu Kanno Mindar menyampaikan pesan-pesan agama. Di Arab Saudi, hari-hari ini pemerintah mulai mempekerjakan robot-robot AI di area Masjidilharam.
Meski tidak berbentuk seperti manusia sebagaimana robot di Eropa, robot Masjidilharam ini juga dapat memfasilitasi permintaan fatwa, menawarkan panduan tentang cara melakukan ritual haji/umrah, standby melayani 24 jam, dan menguasai 11 bahasa. Pada 2019, robot cantik AI Shopia hadir di Indonesia untuk menjadi narasumber dalam sebuah agenda 2019 CSIS Global Dialogue.
Sophia dapat berinteraksi dengan para peserta layaknya manusia, bahkan sempat berdialog dengan Menteri Komunikasi dan Informatika RI Rudiantara.
Disrupsi digital juga mempermudah dunia tulis-menulis. ChatGPT AI, dan sejenisnya dapat membantu manusia membuat narasi. Aplikasi ini memiliki kemampuan berpikir kurang lebih 100 kali lebih cepat dari manusia. Jika seseorang disuruh membuat naskah (contoh satu halaman saja) dengan bahasa dan narasi akademis yang terstruktur, mungkin manusia cerdas sekalipun masih memerlukan waktu sekitar 3-5 menit untuk menyelesaikannya. Namun, ChatGPT mampu menyelesaikan hanya dalam hitungan detik dalam bahasa apapun yang diinginkan.
Manfaat vs Ancaman
Teknologi digital dengan segala produknya benar-benar menjadi kebutuhan dasar bahkan bisa menjadi “dewa” dalam kehidupan manusia. Disrupsi digital memang mendatangkan manfaat, dan kemudahan, namun di sisi lain juga bisa mendatangkan ancaman bagi manusia.
Perselingkuhan sains dan teknologi digital dengan ideologi kapitalisme mengakibatkan manusia terempas dalam gelombang dan tsunami modernitas. Manusia kehilangan kebebasan dan makna kemanusiannya di tengah kehidupan megamekanis.
Disrupsi digital yang menghasilkan peradaban material menghancurkan tatanan dan nilai sendi-sendi kehidupan. Masyarakat panik, pegangan hidup goyah, dan jalan hidup pun mulai kehilangan arah. Gejala semacam ini menyebabkan terjadinya distorsi pada nilai-nilai kemanusiaan.
Agama dan Tuhan seakanakan diabaikan, iman menguap bahkan ada kecenderungan manusia modern membuang dimensi transendental dari kehidupannya. Padahal, peradaban yang menegasikan dimensi spiritual hanya akan menghasilkan surga paradoksal; surga yang hanya mampu memberikan berbagai kesenangan, tetapi gagal dalam memberikan ketenangan.
Peradaban membaca yang dibangun Barat memang berbedadengan falsafah iqra (membaca) yang diajarkan oleh Islam. Jika Barat membuang dimensi keilahian yang berakibat lahirnya peradaban sekuler, maka di dalam Islam falsafah membaca harus selalu dikaitkan dengan dimensi spiritualitas agar peradaban yang dihasilkan
senantiasa berbasis peradaban irfani. Irfani adalah sebuah peradaban yang tidak saja bertumpu pada kekuatan akal pikiran, tetapi juga berbasis pada keutuhan zikr, peradaban yang saling “menyapa” dalam relasi humanis; menyapa sesama manusia, menyapa lingkungan, dan juga menyapa Tuhan. Umat Islam pada abad klasik dan pertengahan mencapai puncak kejayaannya (the golden age) disebabkan mereka mampu mengamalkan falsafah iqra dilanjutkan tradisi menulis. Kebangkitan Islam Hari ini umat Islam mengalami kemunduran karena budaya literasi tidak lagi terpelihara. Dari survei literasi yang dilakukan oleh UNESCO, tidak ada satupun negara yang mayoritas berpenduduk muslim menempati 10 besar. Indonesia pun hanya menempati urutan ke 70 dari 81 negara yang disurvei dengan persentasi 0.001 persen. Itu artinya, di antara seribu penduduk Indonesia, hanya satu orang yang gemar membaca.
Umat Islam tentu tidak ingin kondisi seperti ini terus berlanjut. Umat Islam harus bangkit merebut kembali peradaban dunia. Peradaban yang menawarkan hubungan antara sains dan agama dengan interaksi yang lebih konstruktif dan produktif, tidak meninggalkan dan menanggalkan dimensi spiritualitas.
Falsafah iqra juga menjadi terapi dan solusi atas kegagalan umat Islam dalam memahami realitas kontemporer, dan lambat dalam merespons perubahan. Lemahnya daya baca atas teks suci dan atas fenomena kontemporer mengakibatkan umat Islam terkungkung dalam “fatalisme”, belum berani melakukan ijtihad transformatif. Umat
Islam masih terjebak dalam kebekuan tafsir tekstual. (*)