Pekerja Non-MBR Tidak Dapat Manfaat Maksimal Tapera

  • Bagikan
IST

Di sisi lain, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengakui bahwa kebijakan Tapera belum tersosialisasikan dengan baik. Menurut dia, tujuan dibentuknya Tapera adalah saling membantu atau bergotong royong dalam penyediaan rumah. Yang belum punya rumah bisa mendapatkan akses KPR lewat Tapera. Lalu, bagi pekerja yang sudah punya tanah, tapi kesulitan uang untuk membangun rumah, disiapkan kredit bangun rumah (KBR).

Kemudian, yang sudah punya rumah bisa mendapatkan layanan kredit renovasi rumah (KRR). Bagi pekerja peserta Tapera yang tidak membutuhkan tiga fasilitas itu, uang iurannya seperti ditabung. ”Pada saatnya nanti dikembalikan. Jadi, ini seperti tabungan,” kata Ma’ruf di sela kunjungan kerja di Aceh kemarin.

Sementara itu, pakar kebijakan publik Universitas Indonesia (UI) Lina Miftahul Jannah memahami adanya polemik di masyarakat mengenai Tapera. Dia menyatakan, Tapera adalah program yang memiliki segmen khusus. Yaitu, pekerja atau masyarakat yang sulit mendapatkan akses pada pembiayaan KPR atau sejenisnya. ”Kemudian, ini diberlakukan untuk semua pekerja. Dengan semangat gotong royong,” katanya.

Padahal, tidak semua pekerja membutuhkan dana tersebut. Misalnya, pekerja yang sudah memiliki rumah atau pekerja yang memiliki tabungan rutin untuk masa pensiunnya. Wajar mereka merasa keberatan.

Apalagi, pekerja yang dipaksa ikut Tapera, tetapi statusnya non-MBR tidak bisa merasakan manfaat maksimal dari Tapera. Pekerja kelompok itu hanya akan mendapatkan pengembalian iuran Tapera sekaligus hasil pengelolaannya. ”Iya kalau investasinya benar. Sebelumnya kan ada kasus Jiwasraya dan Asabri,” katanya.

Terpisah, anggota DPR RI Herman Khaeron mengatakan, pemerintah harus meninjau ulang kebijakan Tapera. ”Kemudian me-review mana yang diterapkan dan mana yang harus memberikan rasa keadilan serta mana pula yang harus menjadi mandatory,” terangnya dalam acara diskusi di kompleks parlemen Senayan kemarin.

Sebenarnya, kata Herman, Tapera diatur sejak munculnya UU 4/2015 tentang Tapera. Kemudian, lahir Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25/2020. Pro-kontra muncul ketika terbit PP Nomor 21/2024. ”Karena iuran Tapera diwajibkan untuk semua sehingga memberatkan masyarakat. Jadi, PP yang baru itulah yang menjadi masalah,” ucapnya.

Herman menegaskan, sebelum aturan itu dibuat, seharusnya ada pengkajian dan sosialisasi yang bermakna kepada masyarakat. ”Karena user-nya adalah seluruh masyarakat, user-nya kita semua. Oleh karena itu, saya harapkan pemerintah bisa merespons karena ini peraturan pemerintah,” tegasnya. (jawapos)

  • Bagikan