Si anak kolong itu menghabiskan masa kecilnya di sebuah desa di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
Sejak umur 9 tahun, Amran kecil sudah harus bekerja memeras keringat demi untuk membayar iuran SPP sekolah. Kemiskinan justru tak membuatnya berkecil hati dan menggadaikan harga diri.
Pernah menjadi pemecah batu, penggali sumur, bertani, penjual ikan, penjual ubi, serta penggembala sapi dilakoninya dengan gigih.
“Saya jual ubi tidak ada yang beli akhirnya menghitam dan busuk. Jual ikan pun begitu, saya bangkrut,” kenang Amran.
Setamat SMA, Amran diterima di Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin Makassar. Namun melihat kondisi ekonomi keluarganya yang serba pas-pasan, Amran pun ragu melanjutkan pendidikan perguruan tinggi.
Saat itu gaji ayahnya sebagai tentara hanya Rp116 ribu untuk menghidupi seorang istri dan 12 anak.
“Ibu saya bilang (dengan bahasa bugis) lanjut saja kuliah. Soal biaya jangan dipikirin, pasti dikasih jalan,” kata Amran.
Optimisme sang ibu memecut kembali semangat Amran untuk melanjutkan pendidikan.