JAKARTA, BACAPESAN – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun depan diproyeksikan 5,2 persen. Hal itu didorong kebijakan fiskal strategis yang tepat sasaran dan pendalaman finansial di tengah meningkatnya tantangan global.
ASEAN Economist UOB Enrico Tanuwidjaja menuturkan, sejumlah negara dunia, termasuk Indonesia, menjadikan tahun ini sebagai tahun politik. Artinya, kebanyakan kawasan mengalami fase pergantian pemerintahan presiden sehingga berdampak pada perubahan tatanan maupun kebijakan dalam negeri hingga luar negeri.
’’Pastinya akan melakukan me first policy. Tentunya hubungan global, international trade penting. Tapi, pertama-tama rumah kita dulu. Kita harus relay on out own strength. Risiko itu ada karena semua negara banyak melihat pada kepentingannya sendiri,” kata Enrico dalam UOB Indonesia Economic Outlook 2025 di Jakarta.
Dia melanjutkan, jika belanja fiskal Amerika Serikat meningkat drastis, karena presiden terpilih memutuskan untuk melakukan pengeluaran besar-besaran, maka The Fed harus mempertimbangkan kembali kebijakan suku bunganya. Karena pasar keuangan pasti akan meningkat dalam situasi seperti itu.
”Kita lihat di bottom chart Indonesia semenjak 2011-2019, rupiah terdepresiasi Rp 8.000 sampai Rp16.000 apa yang terjadi? Ini struktur fundamental yaitu current account deficit dan net FDI kita masih kurang strong jadi wajar,” ucapnya.
Karena itu, untuk mencapai target pertumbuhan tersebut, perlu sejumlah strategi yang harus dijalankan pemerintah. Enrico menyampaikan tiga strategi untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Yaitu, belanja fiskal yang ekspansif dan terarah, pendalaman keuangan yang cepat dan adaptif, serta transformasi struktural yang produktif dan efisien.
Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Noor Faisal Achmad menuturkan, asumsi makro tahun 2025 disusun dengan mempertimbangkan potensi perekonomian dan tetap memperhitungkan risiko yang akan datang. ’’Kondisi ekonomi global relatif stagnan. Perekonomian nasional masih tumbuh kuat di 5,08 persen (2024), ini didukung permintaan domestik yang kuat, inflasi yang terkendali, dan penciptaan lapangan kerja baru,’’ ujarnya. (JP)