JAKARTA, BACAPESAN – Publik sempat digegerkan dengan sejumlah nama produk berkonotasi negatif tetapi mendapat sertifikat halal. Sorotan itu direspons langsung oleh sejumlah pemangku kepentingan. Yakni, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (Kemenag), Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan Komite Fatwa Produk Halal.
Ketiga institusi itu menggelar pertemuan dan menyepakati solusi terhadap 151 produk bersertifikat halal yang penamaannya bermasalah. Adapun beberapa produk dengan nama berkonotasi negatif dan bersertifikat halal itu adalah “tuyul”, “tuak”, “beer”, dan “wine”. Pertemuan itu berlangsung di Serpong, Tangerang Selatan (Tangsel).
“Kami mengadakan pertemuan konsolidasi dengan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia dan Komite Fatwa Produk Halal. Konsolidasi itu untuk mengidentifikasi nama-nama produk yang disinyalir menyangkut penamaan-penamaan produk yang berkonotasi dan tidak diperbolehkan di dalam Fatwa MUI,” kata Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham di Serpong.
Dalam konsolidasi itu diperoleh data bahwa 5.314.453 produk telah bersertifikat halal. Di dalamnya terdapat 151 produk dengan nama bermasalah. Persentasenya 0,003 persen. “Artinya, alhamdulillah kita cukup proper. Namun demikian, dari 151 itu kita identifikasi temuannya ada dua, yang dikecualikan berjumlah 30 dan tidak dikecualikan berjumlah 121,” lanjut Aqil.
Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Soleh mengatakan, merujuk Fatwa MUI nomor 44 tahun 2020, terdapat dua kondisi terkait penamaan produk. Pertama, sesuai dengan fatwa ada pengecualian terkait dengan penggunaan nama, bentuk, dan atau kemasan yang diatur di dalam fatwa nomor 44 tahun 2020. Misalnya, yang secara ‘urf atau kebiasaan di tengah masyarakat dikenal sesuatu yang biasa atau tidak terasosiasi dengan sesuatu yang haram, misalnya bir pletok, dikenal sebagai jenis minuman tradisional yang halal, suci, dan tidak terasosiasi dengan pengertian bir yang mengandung alkohol.
Tidak semua jenis kata ‘wine’ itu kemudian terlarang. Misalnya, ‘red wine’ yang merujuk kepada jenis warna yang secara empirik digunakan di tengah masyarakat. Ini penting untuk dipahami secara menyeluruh sehingga tidak menimbulkan kegaduhan di publik. (JP)