Sidang Promosi Doktor di UI, Bahlil Soroti Soal Kecilnya Dana Bagi Hasil Hilirisasi yang Diterima Daerah

  • Bagikan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia. (YouTube UI)

JAKARTA, BACAPESAN – Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia menyoroti soal kecilnya Dana Bagi Hasil (DBH) yang diterima Pemerintah Daerah (Pemda) dari sektor hilirisasi. Hal ini sebagaimana disampaikan Bahlil dalam Sidang Promosi Doktor Kajian Stratejik dan Global di Universitas Indonesia (UI), Depok, Rabu (16/10).

Dalam sidang ini, Bahlil memaparkan disertasi berjudul ‘Kebijakan, Kelembagaan, Tata Kelola, Hilirisasi Nikel yang Berkeadilan dan Berkelanjutan di Indonesia’. Menurutnya, hilirisasi sudah terbukti mempunyai dampak positif yang sudah dirasakan, terutama pada sektor critical mineral.

Namun, dia merasa ada kebijakan hilirisasi yang belum adil, khususnya bagi daerah. Salah satunya seperti di Halmahera Tengah, Maluku Utara.

“DBH contoh di Halmahera Tengah, satu kawasan industri bisa menghasilkan Rp 12,3 triliun, tapi apa yang terjadi pemerintah pusat hanya membagikan kepada mereka, kabupaten itu tidak lebih dari Rp 1,1 triliun dan provinsi hanya Rp 900 miliar,” kata Bahlil dalam paparannya.

“Sementara beban tanggung jawab kepada mereka cukup luar biasa, kesehatan, lingkungan, jalan-jalan, kemudian sampah, luar biasa sekali,” sambungnya.

Bahlil menyebut, dari total DBH yang ditransfer pemerintah pusat ke daerah itu secara total hanya 1/6 dari total penerimaan hilirisasi di wilayah tersebut. Di sisi lain, mantan Menteri Investasi ini juga mengatakan bahwa di Morowali, Sulawesi Tengah juga, telah terjadi peningkatan kasus ISPA pada tahun 2023 mencapai 52 persen karena kehadiran industri hilirisasi.

“Inilah kemudian kenapa orang daerah selalu teriak, dan saya izin menyampaikan izin secara gamblang sebagai pertanggungjawaban moralitas saya sebagai seorang mahasiswa yang sedang berkuliah di UI,” ungkapnya.

Di sisi lain, Bahlil membeberkan bahwa sebelum ada hilirisasi, ekspor di Morowali, Sulawesi Tengah sudah mencapai ratusan kali lipat. Bahkan, tercatat 50-60 persen dari total ekspor nasional.

Sementara itu, ia mencatat penerimaan negara yang signifikan karena hilirisasi. Dari sebelumnya pada tahun 2017 hanya mencapai USD 3,3 miliar, namun kini telah mencapai USD 34 miliar.

Selain itu, kata Bahlil, pendapatan rata-rata di sekitar tambang cukup luar biasa mencapai Rp 30 juta – Rp 150 juta. “Mereka bukan karyawan daripada tambang smelter dan hilirisasi itu, tapi mereka memaksimalkan ruang ruang ekonomi dengan membikin rumah kos, suplai barang makanan, dan macam-macam,” beber Bahlil. (JP)

  • Bagikan