MUI Dukung Pengurangan Masa Tinggal Jamaah Haji Indonesia di Arab Saudi

  • Bagikan

JAKARTA, BACAPESAN– Selama ini masa tinggal jamaah haji Indonesia di Arab Saudi selama musim haji cukup lama. Yaitu mencapai 42 hari. Sejumlah kalangan meminta masa tinggal itu bisa dikurangi, sehingga bisa menghemat biaya haji yang harus dikeluarkan jamaah.

Wacana pengurangan masa tinggal jamaah haji itu mendapatkan dukungan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Zainut Tauhid Sa’adi mendukung rencana pemotongan durasi masa tinggal tersebut.

“Pengurangan masa tinggal tersebut dimaksudkan untuk menekan biaya perjalanan ibadah haji (BPIH) agar lebih murah, sehingga tidak memberatkan jemaah,” katanya di Jakarta pada Senin 30 Desember 2024.

Meski demikian, Zainut berharap meskipun ada pengurangan BPIH, kualitas layanan terhadap jemaah haji tidak boleh berkurang. Bahkan kalau bisa harus lebih baik.

“Saya kira rencana pemotongan durasi masa tinggal merupakan langkah maju untuk mengurangi BPIH,” jelasnya. Karena selama ini pengurangan BPIH hanya bertumpu dari besar kecilnya subsidi nilai manfaat dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Jika subsidinya besar maka biaya haji yang ditanggung jamaah menjadi kecil. Namun jika subsidinya berkurang maka biaya haji yang ditanggung jamaah menjadi mahal.

Menurut mantan Wakil Menteri Agama itu, pengurangan beban biaya haji dengan cara menambah subsidi dari nilai manfaat merupakan cara yang tidak kreatif serta tidak sehat.

Karena cara itu berpotensi menggerus nilai manfaat yang pada akhirnya justru akan merugikan jamaah haji yang masih pada posisi masa tunggu (waiting list).

Dia mengatakan, ada pemahaman yang keliru selama ini bahwa subsidi jemaah haji itu berasal dari pemerintah. Padahal sebenarnya dana subsidi itu berasal dari jemaah haji masa tunggu (waiting list).

“Jadi subsidi tersebut berasal dari return atau hasil investasi dana haji para jamaah yang dikelola BPKH,” jelasnya.

Dana subsidi tersebut sejatinya juga adalah jatah atau haj jamaah haji lainnya yang berangkat belakangan. Atau yang biasa disebut jamaah tunggu.

Jadi, jika nilai manfaat itu dihabiskan untuk subsidi jamaah haji yang berangkat sekarang, maka jemaah haji masa tunggu tidak kebagian.

“Boro-boro dapat subsidi dari nilai manfaat, jangan-jangan modal pokoknya juga habis tergerus untuk subsidi jemaah haji yang di depan,” tuturnya.

Zainut berharap penyusunan biaya haji harus benar-benar mempertimbangkan aspek proporsionalitas dan sustainabilitas keuangan haji. Jangan sampai mengganggu rasa keadilan bagi calon jemaah haji lainnya.

  • Bagikan