Tita Rostitawati Raih Gelar Doktor, Teliti Tradisi Malo’o Hamawa dalam Perkawinan Adat Gorontalo

  • Bagikan
Tita Rostitawati.

MAKASSAR,BACAPESAN – Tita Rostitawati resmi menyandang gelar doktor setelah sukses mempertahankan disertasinya dalam sidang promosi doktor Program Studi Dirasah Islamiyah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, pada Rabu (5/2/2025).

Ketua Sidang Promosi dipimpin langsung Direktur PPS UIN Alauddin Makassar, Prof DR H Abustani Ilyas MA.

Dalam disertasinya yang berjudul “Tradisi Malo’o Hamawa dalam Adat Perkawinan Suku Gorontalo di Gorontalo: Perspektif Filsafat Nilai”, Tita mengkaji tradisi malo’o hamawa sebagai bagian dari prosesi perkawinan adat Gorontalo.

Tita menjelaskan bahwa tradisi malo’o hamawa merupakan bagian dari tahapan perkawinan adat Gorontalo. Penelitiannya berfokus pada tiga aspek utama: prosesi pelaksanaan, nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya, serta implikasi tradisi ini terhadap perempuan.

Berdasarkan temuannya, prosesi malo’o hamawa meliputi beberapa tahapan, yakni, Perawatan lahir dan batin sebelum pernikahan. Tungguwalo atau molongudu, yakni masa karantina calon pengantin perempuan.

Lanjut, Modepito Maharu, ritual untuk membersihkan diri, Mopotuluhu, persiapan mental calon pengantin dan Modelo, prosesi menjelang malam pertama serta, Mopodumango Bulainditi, malam pertama pengantin yang dianggap sakral.

Dari hasil penelitian, tradisi ini mengandung beberapa nilai filosofis, seperti kebahagiaan, kepatuhan terhadap norma, kesucian, dan spiritualitas. Namun, di sisi lain, Tita menemukan bahwa tradisi ini juga membawa dampak negatif bagi perempuan.

Salah satu implikasinya adalah perempuan harus membuktikan keperawanannya melalui bercak darah di kain putih, yang berujung pada tekanan psikologis dan kekerasan berbasis gender, baik secara fisik, psikologis, maupun ekonomi.

“Kekerasan fisik dapat berupa pemukulan, sedangkan tekanan psikologis muncul dalam bentuk rasa takut, malu, atau stres jika tidak dapat membuktikan keperawanannya. Selain itu, ada juga kekerasan ekonomi, di mana perempuan bisa kehilangan hak finansial dari suaminya,” kata Tita.

Dalam disertasinya, Tita merekomendasikan perubahan perspektif masyarakat dalam menilai kehormatan perempuan. Ia mendorong agar penghormatan terhadap perempuan tidak lagi hanya dikaitkan dengan keperawanan, melainkan juga kontribusi mereka di bidang pendidikan, ekonomi, dan sosial.

Ia juga berharap pemangku adat dapat menyesuaikan tradisi ini agar tetap menjaga nilai kesucian, tetapi tanpa mengorbankan kesejahteraan emosional perempuan. Sementara itu, Kantor Urusan Agama (KUA) diharapkan dapat mengedukasi calon pengantin, terutama laki-laki, bahwa keperawanan tidak bisa diukur hanya dari bercak darah.

Penelitian ini menyoroti bagaimana budaya patriarki masih memengaruhi peran perempuan dalam perkawinan adat Gorontalo. Melalui pendekatan filsafat nilai dengan corak fenomenologis, Tita Rostitawati berharap hasil penelitiannya dapat menjadi refleksi bagi masyarakat dalam memahami tradisi perkawinan yang lebih inklusif dan berkeadilan. (*)

  • Bagikan