JAKARTA, BACAPESAN– Pengendalian kasus hipertensi di Indonesia masih menjadi tantangan besar. Kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, tenaga kesehatan, komunitas, dan organisasi lainnya sangat penting untuk menurunkan angka kasusnya.
Apalagi hipertensi terus meningkat di berbagai kelompok usia, termasuk anak-anak, remaja, usia produktif, dan ibu hamil. Ketua Indonesian Society of Hypertension (InaSH) dr Eka Harmeiwaty, Sp.N, menekankan pentingnya pengendalian tekanan darah untuk mencegah komplikasi seperti stroke, penyakit jantung koroner, gagal ginjal, dan kepikunan.
“Menurut RISKESDAS 2018, hanya 1 dari 3 pasien hipertensi yang mencapai target pengobatan. Untuk mencapai target pengendalian 50 persen, sekitar 24,3 juta penderita hipertensi harus mendapatkan terapi yang efektif,” ujarnya kepada wartawan, Jumat 21 Februari.
WHO memperkirakan pada 2023 sebanyak 1,28 miliar penduduk dunia berusia 30-79 tahun mengalami hipertensi. Dua pertiga di antaranya berada di negara berkembang, termasuk Indonesia. Sayangnya, hanya 21 persen yang mencapai target pengobatan.
Adapun faktor risiko utama hipertensi, kata dr. Eka meliputi merokok, obesitas, konsumsi garam berlebih, serta faktor genetik. Butuh pengendalian dari segi aturan terhadap faktor risiko di atas.
“Sayangnya, hingga kini belum ada kebijakan eksplisit terkait larangan merokok. Padahal polusi udara, lingkungan tidak sehat, dan kebisingan juga berkontribusi terhadap hipertensi,” ungkapnya.
Selain itu, tingginya angka hipertensi yang tidak terdiagnosis, rendahnya kepatuhan pengobatan, serta kurangnya kesadaran masyarakat menjadi tantangan tersendiri.
“Akses ke fasilitas kesehatan yang terbatas, faktor sosial-ekonomi, dan kurangnya promosi hidup sehat semakin meningkatkan beban negara dalam menangani komplikasi akibat hipertensi,” ucapnya.
Eka menerangkan, hipertensi juga dapat ditelusuri melalui pendekatan genomik. Sebab penelitian menunjukkan bahwa 60,1 persen kasus hipertensi terkait dengan faktor genetik.
Tes genomik kini berkembang sebagai inovasi untuk mendeteksi dini risiko hipertensi dan memungkinkan pengobatan yang lebih personal.
Oleh karena itu, Eka menilai bahwa skrining hipertensi perlu digalakkan guna menemukan kasus lebih dini. Program ini membutuhkan keterlibatan komunitas dan upaya promotif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
“Jaminan Kesehatan Nasional dapat menjadi solusi, tetapi harus diperkuat dengan layanan primer yang berkualitas, termasuk pedoman hipertensi berbasis bukti terkini, pelatihan tenaga kesehatan, serta distribusi obat yang memadai,” jelasnya.
Prof. Dr. dr. Teguh A.S Ranakusuma, Sp.N(K), Adboard InaSH, menekankan pentingnya pencegahan primordial, yaitu menghindari faktor risiko sejak dini.
“Hipertensi sering kali tidak memiliki gejala spesifik dan baru diketahui setelah muncul komplikasi serius. Oleh karena itu, kesadaran masyarakat terhadap hipertensi perlu ditingkatkan,” katanya.
Dia mengingatkan tentang konsep Rules of Halves, yaitu hanya separuh penderita hipertensi yang menyadari kondisi mereka, dan dari jumlah tersebut, sebagian besar tidak mendapatkan pengobatan atau tidak mencapai target kontrol tekanan darah.
“Dengan memahami konsep Rules of Halves dengan baik maka tenaga kesehatan diharapkan dapat memberikan prioritas terhadap upaya skrining tekanan darah rutin dan edukasi kepada pasien tentang identifikasi dan pengelolaan hipertensi yang efektif,” tambahnya. (JP)