JAKARTA, BACAPESAN– Wacana batas usia untuk anak menggunakan media sosial kembali muncul. Bahkan aturan tersebut kabarnya tengah disusun oleh pemerintah, dengan harapan, mampu memberikan perlindungan yang efektif di ruang digital, tanpa mengabaikan hak anak untuk berekspresi, berkomunikasi, dan mengakses informasi sesuai tingkatan usia dan perkembangan anak.
Terkait hal tersebut, banyak pihak menilai kalau implementasi regulasi tersebut tampaknya masih akan jauh panggang dari api. Sebab masih banyak tantangan yang perlu diselesaikan sebelum aturan tersebut bisa benar-benar bermanfaat.
Jasra Putra, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai, memang pembatasan usia minimum dalam penggunaan platform digital krusial untuk menghindari risiko paparan judi online, pornografi, dan kecanduan internet.
Mengutip laporan UNICEF bertajuk Online Knowledge and Practice of Parents and Children in Indonesia (2023) yang mensurvei anak-anak di Indonesia berusia 8-18 tahun mengungkap bahwa mayoritas anak Indonesia (99,4%) menggunakan internet dengan rata-rata waktu penggunaan 5,4 jam per hari.
Laporan tersebut juga menyebut 85,4 % anak Indonesia mengaku sangat menikmati aktivitas daring, terutama untuk hiburan, permainan, akses informasi, dan komunikasi dengan teman. Namun, regulasi bukan tanpa tantangan.
“Anak-anak dapat dengan mudah menggunakan identitas orang tua atau akun lain untuk menghindari batasan usia minimum,” tutur Jasra dilansir dari JawaPos.com.
Terpisah, Indriaswati Dyah Saptaningrum, pakar Hukum Teknologi Universitas Atma Jaya dan mantan Direktur Eksekutif ELSAM, menilai regulasi memang penting karena banyak laporan menunjukkan peningkatan cyberbullying dan kasus lainnya dan itu membutuhkan respons segera, termasuk salah satunya respons berupa regulasi.
“Namun, kompleksitas isu anak di dunia maya menuntut adanya pendekatan shared responsibility (tanggung jawab bersama) yang melibatkan penyedia layanan, keluarga, masyarakat, serta pemerintah,” ujarnya.
Dari perspektif literasi digital, Indriyatno Banyumurti, Direktur Eksekutif ICT Watch juga menekankan bahwa regulasi memang bisa menjadi salah satu upaya untuk bisa melindungi anak di ranah daring, tapi tentunya itu tidak bisa berdiri sendiri. Untuk melindungi anak di ranah daring, dia
menilai perlu ada upaya kolaboratif yang komprehensif dari hulu ke hilir.
“Di hulu ada aturan regulasi, di tengah ada edukasi literasi digital dan pemanfaatan teknologi seperti fitur parental control, serta di hilir ada pengawasan dan penegakan regulasi yang efektif,” jelasnya.
Regulasi saja tentu tidak cukup untuk melindungi anak-anak di dunia maya. Jasra Putra menekankan pentingnya literasi digital, terutama bagi orang tua. Banyak orang tua yang literasi digitalnya masih terbatas, sehingga sulit mengawasi aktivitas anak di internet.
“Oleh karena itu, pemerintah perlu berperan dalam edukasi mengenai penggunaan gawai, internet, serta pengawasan digital seperti parental control,” terang Jasra.
Orang tua juga harus dibekali dengan literasi digital, sekolah harus memiliki aturan berinternet yang baik, dan platform digital harus lebih banyak menginvestasikan sumber dayanya untuk edukasi masyarakat.
Dan paling penting, perlu kajian mendalam. Sebab salah satu tantangan utama dalam perumusan regulasi adalah bagaimana agar kebijakan ini tidak dibuat secara terburu-buru. Jasra mengungkapkan bahwa pemerintah memiliki waktu
sekitar dua bulan untuk menetapkan regulasi ini.
“Namun, proses ini tidak boleh tergesa-gesa agar kebijakan yang dibuat tidak malah menimbulkan masalah baru. Salah satu langkah yang harus dilakukan adalah memastikan adanya harmonisasi dengan kebijakan lain,” tandasnya. (JP)