JAKARTA, BACAPESAN– Salah satu penyakit masyarakat yang gencar dibasmi saat ini adalah judi online (judol) dan pinjaman online (pinjol) ilegal. Memanfaatkan momentum bulan Ramadan ini, kampanye bahaya judol dan pinjol ilegal harus ditingkatkan. Termasuk melibatkan lembaga penyiaran di Indonesia.
Seruan tersebut tertuang dalam Tausiyah Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang Program Penyiaran Ramadan. Surat dengan nomor: Kep-18/DP-MUI/II/2025 itu, ditandatangani oleh Ketua Umum MUI KH Anwar Iskandar dan Sekjen MUI Amirsyah Tambunan. Bagi MUI keberadaan lembaga penyiaran sangat penting. Karena banyak masyarakat Indonesia yang menonton TV di sela-sela menjalankan ibadah puasa.
Amirsyah mengatakan MUI meminta kepada lembaga penyiaran termasuk konten kreator di berbagai platform media sosial, untuk mengisi siaran Ramadhan dengan memperkuat literasi dan edukasi bahaya judi online. “Memperkuat edukasi-literasi bahaya judi online yang telah menjangkiti semua lapisan masyarakat dengan dampak sangat merusak,” kata Amirsyah dalam keterangannya Minggu 2 Maret 2025.
Selain itu, MUI juga meminta agar tayangan Ramadan harus menekankan pentingnya penguatan solidaritas dan kepedulian sosial dalam berbagai hal. Termasuk membantu mereka yang terpuruk ekonominya akibat jeratan pinjaman online (pinjol) yang menyengsarakan.
“Seluruh isi siaran yang tayang di lembaga penyiaran dan ditayangkan ulang di berbagai platform media sosial, harus tetap patuh pada ketentuan Undang-undang Penyiaran, P3SPS, dan Fatwa MUI tentang Hukum dan Pedoman Muamalah Melalui Media Sosial,” kata dia.
MUI juga meminta agar isi siaran menghormati waktu-waktu penting dalam Ramadan. Seperti waktu berbuka dengan adzan Maghrib, waktu sahur, imsak, dan adzan Subuh.
Seluruh busana pengisi acara siaran harus menghormati bulan Ramadhan dengan menetapkan standar kepatutan yang bermartabat. “(Media penyiaran) melakukan kontrol internal isi siaran yang berpotensi mengganggu ibadah berpuasa seperti ekspos konsumsi makanan, minuman dan hedonisme secara berlebihan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Amirsyah mengatakan MUI mengingatkan lembaga penyiaran untuk tidak boleh menyiarkan adegan yang menggambarkan aktivitas pornografi dan pornoaksi yang jelas-jelas merusak ibadah Ramadan. Tayangan Ramadan harus menjauhkan diri dari isi siaran yang memperolok, merendahkan, melecehkan, atau mengabaikan nilai-nilai agama,” katanya. Serta martabat warga Indonesia di tengah hubungan Indonesia dengan negara-negara lain dalam skala regional maupun internasional.
Isi siaran Ramadhan juga diminta agar tidak boleh bermuatan fitnah, hasutan kebencian, disinformasi menyesatkan, hoax dan kabar bohong. Selain itu, tidak menonjolkan unsur kekerasan, baik fisik maupun verbal. “Konten cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Isi siaran Ramadhan tidak digunakan untuk kampanye, publisitas politik, propaganda individu, serta agitasi kelompok politik dalam rivalitas politik praktis,” tegasnya.
Menurut MUI, isi siaran Ramadhan sangat penting diisi dengan penguatan nilai keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, sebagai tempat pendidikan anak-anak bangsa, generasi penerus yang tangguh untuk menopang Indonesia Emas, dengan spirit perlindungan anak dan pemberdayaan perempuan, sebagai ibu dan madrasah pertama bagi anak.
“Tidak mempertentangkan suku, agama, ras, dan antar golongan dan tidak memprovokasi timbulnya ujaran kebencian (hate speech),” tuturnya.
Di tengah kuatnya desakan pembatasan akses anak pada media sosial, dan saat tengah disiapkan regulasi pengaturan usia anak dalam mengakses media digital, maka lembaga penyiaran dan para konten kreator media sosial penting memperkuat spiritnya dengan menyajikan konten edukatif dan ramah anak. “Serta tidak merusak mental dan karakter, khususnya bagi anak-anak yang jiwanya masih fase pendampingan,” demikian bunyi Tausiyah. (JP)