Oleh : Rektor UIN Alauddin Hamdan Juhannis
SALAH satu aktifitas keagamaan yang paling terdampak oleh era digitalisasi adalah berdakwah. Meskipun Dakwah secara offline masih menjadi tradisi umum, dakwah secara online di dunia media sosial jadi sangat masif. Dakwah digital merambah ke penjuru ruang tanpa batas.
Sebelum menguat arus digitalisasi, kita hanya mengenal pendakwah melalui mimbar atau model halaqah. Kita berlomba ke masjid, khususnya di bulan Ramadan untuk menyimak ceramah pendakwah pujaan kita.
Tidak jarang mendengar cerita ada jamaah mengikuti masjid mana lagi ustad idolanya itu berceramah. Penceramah yang tahu bahwa mereka “dibuntuti” oleh beberapa jamaah, jadi pusing karena ternyata bahan ceramahnya tetap sama di masjid-masjid sebelumnya. Pada masa ini, pengkopian ceramah dilakukan dengan kaset.
Zaman bergerak memasuki masifnya teknologisasi informasi, dakwah menjadi program televisi. Ceramah Da’i terkenal mulai direkam ke dalam compac disc (cd), digital versitile disc (dvd) lalu berkembang lagi menjadi flaskdisk yang lebih simpel dan memiliki daya muat yang lebih besar. Dunia dakwah mulai memasuki era selebrasi, “kaset dan cdnya sudah beredar”.
Hari ini, arus digitalisasi yang begitu masif, “memaksa” dunia ceramah beradaptasi dengan digitalisasi. Ceramah-ceramah tidak lagi mengandalkan mimbar. Popularitas tidak mungkin lagi diraih dengan mengandalkan mimbar. Mimbar semakin terbatasi oleh sekat-sekat tembok dan audiens yang terbatas.
Pendakwah kemudian melakukan adaptasi dengan memaksimalkan media sosial. Pilihan bagi pendakwah adalah dengan menjadi cakap teknologi (kaptek) dan tidak membiarkan dirinya berada dalam zona gagap teknologi (gaptek).
Pendakwah wajib meningkatkan kompetensinya memahami digital skills, dengan menjadi “content creater” atau memiliki orang yang bisa meramuh ceramah-ceramahnya menjadi sajian yang menarik di dunia medsos.
Ceramah panjang dimasukkan ke dalam kanal youtube, dan inti ceramah atau bagian yang lucu-lucu dibagi melalui intagram, tiktok atau fanpage. Istilah untuk jamaah berubah menjadi “follower”.
Konsekwensi yang paling jelas dari masuknya pendakwah ke dalam arus digitalisasi adalah tidak lagi mengandalkan kualitas pesan semata tetapi pada daya tariknya, sejauhmana pesan itu menimbulkan pesona untuk
ditonton yang dibalut dengan kekhasan, retorika, kebaruan, kontroversi, kedalaman atau mungkin saja kekonyolan.
Konsekwensi lain adalah persepsi tentang dakwah berubah dari kualitatif menjadi kuantitaf. Popularitas dibangun bukan lagi dari kualitas dakwah, atau dari pesan-pesan yang disampaikan, tetapi lebih pada kuantitatif, seberapa banyak follower yang dimiliki oleh Da’i tersebut.
Tampaknya yang menarik perhatian adalah mampunya beberapa pendakwah yang kita kenal selama ini, memaksimalkan pesan-pesan dakwahnya yang membumi dengan magnet yang ditampilkan di layar digital.
Mereka bukan hanya memuaskan secara materi dan kebutuhan pendengar, tetapi juga mampu mengkapitalasisasi media sosial untuk memaksimalkan pesan dakwahnya.
Da’i populer seperti ini sangat memahami bahwa anak-anak millenial sekarang tidak lagi antusias mendengar ceramah yang di sampaikan di mimbar. Mereka hanya ingin menyimak yang simpel, menarik, dan pendek di medsos.
Mereka hanya ingin melihat sambil mendengar secara cepat, secepat jari-jarinya menggerakkan layar gudgetnya. Termasuk tidak lagi tertarik membaca tulisan yang serius dan panjang, dan karenanya saya hentikan sekarang.