Oleh: Rektor UIN Alauddin Hamdan Juhannis
BERBAGI di era digital juga mengalami adaptasi yang sangat dramatis. Kita bisa melihat dan merasakan pola, persepsi dan cara memaknai kebaikan berbagi yang ikut berubah. Mari kita menelusuri bagaimana perubahan pola berbagi kita. Sebelum era digital, berbagi kepada yang tidak mampu dilakukan dengan cara tatap muka. Mereka menerima langsung bantuan berupa uang tunai.
Sistem perbankan berkembang, bantuan ditransfer kepada rekening penerima bantuan. Lalu diumumkan secara terbuka, misalnya sumbangan untuk masjid. Lebih canggih lagi, bantuan diberikan dengan mobile banking atau lebih canggih dengan cara Qris. Sampai disini, cara berbagi sudah berubah dari pertemuan fisik menjadi non-fisik.
Penerima sumbangan tidak perlu bertemu secara tatap muka dengan penyumbang. Bahkan penyumbang tidak perlu tahu wajah dari penerima sumbangan.
Seiring berkembangnya tuntutan transparansi dan akuntalibiltas penerimaan sumbangan, banyak penderma juga lebih memilih berbagi langsung dengan apa yang menjadi kebutuhan penerima bantuan, motifnya supaya tepat sasaran.
Misalnya, untuk tujuan pembangunan masjid, mereka menyumbang semen atau pasir. Untuk keperluan buka puasa, mereka langsung menyumbang sejumlah dos makanan yang dibutuhkan, menyumbang logistik makanan ke panti asuhan.
Yang menarik, digitalisasi berhasil memperkuat ikhitar meraih kemuliaan berbagi. Digitalisasi menuntun sikap ikhlas. Kita tidak perlu lagi menyembunyikan uang dalam kelopak tangan saat dimasukkan ke celengan karena kita bisa mengirimkan lewat Qris.
Ajaran tangan kiri tidak perlu tahu saat tangan kanan berbagi bisa dipraktekkan secara sempurna, karena ketika mentransfer uang kepada penerima, nyaris tidak ada yang tahu berapa yang disumbangkan.
Digitalisasi juga membuat berbagi itu menjadi “timeless”, “cashless” dan “limitless”. Kita tidak perlu datang ke tempat tertentu untuk berbagi saat keinginan itu ada. Tidak perlu menunggu celengan lewat di depan shaf kita untuk menyumbang. kita bisa menyumbang tanpa memeriksa isi kantong, karena cukup mengambil Hp dengan satu dua kali sentuhan, kita sudah bisa memberikan haknya kepada yang membutuhkan.
Kita bisa menyumbang berapa saja, sebanyak yang kita mau tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu berbagi, tidak perlu menunggu matahari terbit untuk berbagi. Intinya, digitalisasi menopang ikhtiar menggapai keikhlasan, sebagai kemuliaan tertinggi dalam berbagi.
Satu yang tidak bisa dilawan oleh digitalisasi yaitu operatornya, pemakai alat digitalnya. Karena dia masih bisa berbisik kepada siapa saja, “saya barusan mentransfer uang sebagai zakat harta saya untuk mahasiswa kurang mampu. Saya ikhlas, tolong tidak usah bilang ke orang lain.” Orang yang mendengar mengatakan hal yang sama kepada yang lainnya, “hanya anda yang saya beritahu, please keep it!”. Lalu yang lain itu bilang ke temannya, “jangan sampai bocor karena orang menunjuk ke kamu.” Dan ternyata bisik-bisik ini sudah sampai pada pembaca sekarang.