Menggali Kesejatian (9):Santri Digital

  • Bagikan

Oleh: Rektor UIN Alauddin Hamdan Juhannis

MASIH tentang efek digitalisasi dalam kehidupan beragama. Yang paling terkena dampak digitalisasi adalah cara kita belajar atau cara kita mempelajari sesuatu, khususnya pelajaran agama. Saya membahas ini secara khusus karena agama adalah jalan hidup kita, yang menjadi penuntun keselamatan di hari kemudian.

Dulu kita belajar agama langsung dari guru agama. Kaum santri memasukkan anaknya ke pesantren. Kita belajar langsung secara tatap muka kepada guru agama atau kyai. Yang dipelajari bukan sebatas pengetahuan agama (knowledge) tetapi lebih penting adalah sikap beragama (attitude).

Dengan pengetahuan agama, banyak dari kita menghafal ayat dan hadis populer, memahami hukum-hukum beragama, sampai pada perdebatan teologis, misalnya tentang takdir. Dengan sikap beragama, banyak dari kita belajar langsung dari guru dan kyai tentang mempratekkan etika dalam beragama yang disebut “adab”, mulai dari penggunaan bahasa santun, penghormatan kepada guru, cara bertutur pada yang tua, cara memilih kata saat sedang emosi, atau praktek menghargai perbedaan pendapat.

Jauh sebelum era digital, kita sudah mendengar seorang pembelajar bepergian sangat jauh hanya untuk belajar pada kyai ternama. Jauh sebelum era digital, kita mendengar ketakjuban kita pada seorang alim karena dirinya murid langsung dari ulama terkenal. Bahkan tidak jarang kita mendengar kekuatan otoritas seorang kyai karena pernah lama belajar agama pada pusat peradaban umat Islam, misalnya di Mesir, atau disentrum peribadatan umat Islam, tanah suci Mekah.

Era digital merubah semua pola belajar kita. Kita bisa menjadi murid dari kyai siapa saja yang menyebarkan keilmuannya melalui jaringan online. Istilah pesantren juga berkembang, pesantren online, lebih cepat proses belajarnya dari pesantren kilat. Seorang kyai bisa menjadi guru bagi murid siapa saja yang mengikuti pengajian-pengajiannya yang disajikan melalui kelas online, tanpa mengenal siapa muridnya. Anak-anak millenial tidak lagi mengatakan “saya murid langsung dari kyai ini”. Mungkin dia akan mengatakan “saya santri digitalnya kyai ini”.

Yang membedakan belajar agama di era digital adalah kita bisa mengetahui kedudukan hukum sesuatu dari guru mana saja, yang disajikan secara pendek. Tidak heran bila tiba-tiba ada teman yang menyampaikan pandangan yang agak berbeda dari yang kita pahami selama ini. Karena ternyata baru saja menonton potongan ceramah singkat tentang tafsiran hukum sesuatu itu, tanpa pernah tahu dari mana dasarnya, sebab ayat itu diturunkan atau hadis itu dikeluarkan.

Pada masa sebelum era digital, kita belajar pada siapa yang diyakni sebagai guru dan kyai, tapi pada era digital saat ini, kita disodorkan pelajaran-pelajaran singkat tentang agama dari mana saja dan kadang tidak jelas dari mana sumbernya.

Pada era digital, kita belajar dari layar Hp begitu banyak pengetahuan termasuk pengetahuan tentang adab. Namun, digitalisasi sama sekali tidak bisa mengganti peran langsung kyai dalam mencontohkan adab bagi santri-santrinya. Tapi ada kelebihan digitalisasi yang secara sempurna bisa berikan: “pencitraan beragama”.

  • Bagikan