Oleh : Rektor UIN Alauddin Hamdan Juhannis
DI kampus tempat saya bekerja, ada kursus ChatGPT bagi dosen-dosen yang ditawarkan oleh salah satu dosen IT kenamaan kami, Dr. Ridwan Kambau. Beliau sering saya undang berbincang tentang banyak hal yang terkait dengan teknologi, mulai dari esensi Artificial Intelligence (AI) sampai pada pelajaran praktis tentang cara menggunakan ChatGPT.
Suatu waktu, masa awal saya mengenal
ChatGPT, di depan saya, saya minta tolong sama beliau untuk dibuatkan presentasi tentang metode praktis dalam pembelajaran karakter, hasilnya lebih cepat dari waktu yang saya pakai untuk menggaruk bagian belakang punggung saya.
Setelah itu saya meminta bantuan Pak Ridwan untuk menyebarkan “mujizat” ini kepada semua dosen dan karyawan kami yang jumlahnya sekitar 1000an dengan berbasis fakultas. Beliau bersedia dan itu “percuma”, bahasa malaysia dari gratis. Sampai sekarang banyak dosen secara berkelompok masih meminta Pak Ridwan mengajari cara berkomunikasi dengan ChatGPT. Hasilnya sangat tidak “percuma” Bahasa Indonesia lainnya dari “sia-sia”. Banyak dosen yang mulai menggunakannya untuk kepentingan penambahan wawasan.
Tujuan awal saya waktu itu, bagaimana para dosen yang berperan di masyarakat sebagai muballigh memiliki keluasan pengetahuan dengan alat AI ini. Termasuk yang saya bayangkan adalah kebaruan pengetahuan, ide-ide menarik, koneksitas keilmuan, penguatan wawasan multidisipliner dan tentunya cerita-cerita inspiratif dan humor yang diangkat dari realitas sosial masyarakat.
Rupanya dari ChatGPT, kita bisa mendapatkan informasi apa saja yang kita butuhkan dan serumit apapun yang kita tanyakan, ia mampu memberi uraian dengan jelas, tertata, sistematis poin per poin dan penjelasannya mudah dimengerti. Kalau kita minta dalil ayat atau hadis, seketika itu bisa disiapkan. Syaratnya hanya satu, asal kita mampu memberikan “prompt” (pengingat) yang jelas untuk mengeluarkan memori terbaiknya.
Pertanyaan kemudian apakah harapan semua terpenuhi dari ChatGPT? Iya betul di satu sisi. Kita bisa membayangkan bahagianya seorang ustad yang mencari materi tentang potensi waqaf di masyarakat dalam kaitan dengan proyeksi kesejahteraan sekiranya potensi itu bisa diwujudkan.
Kita bisa bayangkan seorang dosen dengan keilmuan multidisipliner ingin menyampaikan presentasi tentang potensi radar untuk menandai keberadaan makhluk halus atau makhluk yang tidak bisa terindifikasi dengan kasat mata. Tentu juga betapa nyamannya banyak mahasiswa sekarang, diam-diam menulis karya ilmiah sampai pada skripsi dengan bantuan ChatGPT, tinggal memerintahkan pembatasan jumlah kata yang diperlukan.
Namun di sisi lain, ada yang tertinggal untuk keperluan kemanusiaan. Menurutku, ChatGPT belum mampu menggambarkan sisi terdalam dari sesuatu. Sekiranya ada yang ingin mendapatkan gambaran tentang hidup saya dari ChatGPT, contohnya, sekali lagi contohnya, pasti hal terdalam dari sejarah hidup saya tidak pernah bisa tersentuh, bagaimana gambaran mentalitas yang hidup berkubang dengan kemiskinan sejak kecil. Artinya, gambaran tentang sisi kemanusiaan yang esensial bisa diperoleh dengan pertautan langsung dengan pelaku kehidupan itu melalui pendalaman komunikasi.
Yang lain, apakah kita meyakini konsep “berkah?” Bahasa asingnya “barakka” (bugis) bukan “bakara” (sukun) makanan yang anda selalu impikan saat ngerumpi. Pelajaran dari ChatGPT tidak mampu memberikan berkah. Berkah yang didapat dengan pertautan langsung antara murid dan guru, berkah itu lahir dari pertautan jiwa antara murid dan guru, berkah hadir dari “perendahan diri” murid ke gurunya, berkah menetes dari pengabdian tanpa batas murid kepada gurunya.
Satu lagi, menurutku ChatGPT terlalu teratur, tertata, dan sistematis dalam menyajikan informasi, maksudku terlalu monoton. Dan para ahli IT koreksi saya bila saya salah, sepertinya ChatGPT meskipun sangat puitis diksi-diksinya, tampaknya kurang sentuhan humoris. Mungkin OpenAI sebagai perusahaan pembuat ChatGPT diisi oleh orang-orang yang berjiwa serius, dan CEOnya, Sam Altman, mungkin juga adalah sosok kurang humoris. Ayo kita tanya ChatGPT!