Oleh : Rektor UIN Alauddin Hamdan Juhannis
BEBERAPA subuh yang lalu, saya dikejutkan sajian ceramah yang mungkin bagi jamaah juga agak “kontroversial”. Penceramahnya adalah Ustadz Abdul Rauf Amin, salah satu Dekan di kampus saya. Dia ahli Metodologi Hukum Islam, disiplin yang ditekuninya sejak S1, S2, dan S3 di universitas yang dianggap paling berpengaruh di dunia Islam,
al-Azhar, Mesir.
Dia memberi judul ceramahnya, “Teori Campur dalam Beragama.” Dengan artikulatif beliau menjelaskan tentang perlunya menggunakan teori ini untuk menangkap pesan ajaran agama yang tujuannya untuk kemaslahatan hidup.
Yang dimaksud olehnya sebagai campur adalah pemahaman terhadap posisi hukum sebuah perkara harus dilihat dari berbagai perspektif, yang akhirnya membentuk persepsi hukum. Teori campur menurutnya, berintikan bahwa semua perkara pasti terbentuk dari kombinasi maslahat (kebaikan) dan mafsadat (keburukan). Solusi yg diberikan Islam adalah “treatment by perception” (menyikapi secara persepsi).
Ketika suatu masalah atau perkara mengandung mafsadat dan maslahat maka Islam mengajarkan agar mempersepsikan perkara itu adalah sepenuhnya kemaslahatan kalau ia mengandung lebih banyak kemaslahatan karena Islam tidak lagi melihat kemafsadatannya ketika ingin menentukan hukumnya. Bila tidak, maka orang akan selalu dalam kebingungan dan kesulitan dalam beragama, demikian pandangan Ustadz Rauf.
Dia mulai mengurai yang paling umum bahwa minuman keras itu diharamkan, bukan karena tidak ada manfaatnya. Menurutnya, semua materi ciptaan Tuhan, pasti punya manfaat dan mudarat, pasti punya plus dan minus. Sama dengan manusia, pasti punya kelebihan dan kekurangan.
Menurutnya, ajaran Islam memberi status hukum minuman keras menjadi haram karena daya rusaknya jauh lebih besar dari manfaatnya. Sifat ajarannya menurut Dr. Rauf adalah mengatur yang berdampak yang lebih besar, dan membiarkan terlepas yang berdampak kasuistik. Itulah sebabnya karakteristik ajaran Islam, ketika faktor perusak itu bisa dihilangkan, misalnya karena meminum kadar yang tidak sampai membuat mabuk, posisi hukumnya tidak berubah, karena yang diatur adalah sifatnya secara umum yang memabukkan.
Teori Campur ini dipakai untuk memberi rasa nyaman dalam menghadapi keraguan terhadap hukum sebuah perkara. Penceramah mencontohkan bahwa dirinya sebagai PNS, menerima gaji dari pemerintah yang dia tidak tahu persis dari mana sumber uang yang dihasilkan. Penceramah memutuskan dengan teori ini bahwa itu halal karena pasti sumber penggajian itu banyak yang berasal dari sumber-sumber yang baik. Penceramah mengatakan bahwa karakteristik ajaran Islam itu dalam bermuamalah adalah semua dibolehkan sampai ada data yang jelas bahwa sesuatu itu berasal dari sumber yang diharamkan.
Secara ringan, penceramah beranalogi bahwa manusia itu tidak ada yang sempurna. Tidak ada isteri yang sempurna, demikian pula suami. Bila seorang pria mencari calon isteri yang sempurna dia pasti tidak akan pernah menikah. Tetapi pilihan itu dilakukan karena pria itu meyakini isterinya orang yang baik, bukan berarti dia tidak ada keburukannya. Ustadz Rauf mengelaborasi bahwa bisa saja seorang isteri cerewet tapi banyak kelebihannya yang lain, dan langsung saya nyeletuk di bawah bahwa bisa saja kecerewetan itu adalah sebuah kelebihan, karena bisa menjadi alat kontrol bagi suami. Jadi meyakini kelebihan isteri itu adalah persepsi yang suami bangun sendiri.
Demikian pula dengan penentuan posisi hukum sebuah perkara, persepsi-lah yang membuat kita meninggalkan keragu-raguan. Sambil beliau ceramah, saya langsung memotong di bawah mimbar, dan menanyakan bagaimana kalau menerima pemberian dari seseorang yang kita ragukan, karena pemberinya memiliki pabrik miras dan pabrik terigu sekaligus, situasinya 50:50. Ustadz Rauf mengatakan yakini saja itu hasil dari pabrik terigu, selesai.
Suasana jamaah tambah “memanas” dan akhirnya berlanjut diskusi karena ada jamaah yang mengambil mic dan langsung bertanya. Ada sekitar tujuh jamaah yang menyanggah tanpa moderator, namun Dr. Rauf dengan meyakinkan menjelaskan bahwa Tuhan memberi kemudahan untuk mempraktekkan ajarannya. Namun untuk memahami ajaran agama dibutuhkan penalaran karena di dalamnya ada kompleksitas yang bisa menimbulkan tafsiran yang berbeda terutama ketika bersentuhan dengan realitas sosial masyarakat. Itulah sejatinya atau esensi kita beragama.
Itulah juga kenapa ada yang diaebut kedaruratan dalam beragama, karena ia bisa menjadi “hak veto” terhadap sebuah perkara untuk mentoleransi keterdesakan yang dialami oleh penganutnya. Itu juga bisa menjelaskan bahwa bila terdesak, setiap yang tidak dibolehkan berubah status hukumnya. Dari situlah agama selalu berpihak pada realitas sosial.
Sampai di sini saya masih ragu dengan Teori Campur yang digagas oleh Dr. Rauf. Saya lebih suka menyebutkan “Teori Keberpihakan”, bahwa Islam selalu berpihak kepada kebermanfaatan atau kemaslahatan. Entahlah, apakah karena Dr. Rauf habis menyantap es campur sebagai pembuka puasa, lalu campuran itu menginpirasi dirinya dalam memberi judul ceramahnya subuh itu.