MAKASSAR, BACAPESAN– Syahruddin Kadir resmi menyandang gelar doktor usai mempertahankan disertasinya dalam sidang promosi doktor di Program Studi Dirasah Islamiyah, Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Selasa, 18 Maret 2025.
Dalam disertasi berjudul ” Transaksi Decentralized Finance (DeFi) Sebagai Alternatif Jasa Keuangan Digital Masyarakat di Indonesia (Studi Perspektif Maqasid Syariah),” Syahruddin meneliti potensi keuangan terdesentralisasi atau Decentralized Finance (DeFi) sebagai alternatif layanan keuangan digital di Indonesia.
Ia juga mengkaji sistem ini melalui pendekatan maqasid syariah, serta menilai implikasinya terhadap perekonomian nasional.
“Penelitian ini menunjukkan bahwa transaksi DeFi diperbolehkan dalam Islam, sepanjang digunakan untuk tujuan yang memberi kemaslahatan dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah,” kata Syahruddin.
Penelitian kualitatif yang ia lakukan menggunakan pendekatan eksploratif, normatif, dan fenomenologis. Data diperoleh melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi, dengan analisis yang melibatkan proses reduksi data, penyajian data, hingga penarikan kesimpulan.
Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa DeFi berbasis teknologi blockchain memudahkan masyarakat dalam melakukan berbagai transaksi keuangan, seperti perdagangan, simpan pinjam, dan pertukaran aset, yang dioperasikan otomatis lewat smart contract.
Teknologi ini, kata Syahruddin, juga menjamin keamanan aset pengguna melalui sistem time stamp berbasis kode unik yang tak bisa diubah atau ditiru. “Dengan demikian, kemaslahatan yang ditawarkan DeFi lebih besar daripada mudaratnya,” ujarnya.
Syahruddin mengutip pandangan Imam al-‘Izz bin Abd al-Salam, bahwa kemaslahatan tidak boleh diabaikan, sementara kemudharatan harus dihindari.
Ia menambahkan, penggunaan cryptocurrency secara umum sebagai sarana transfer diperbolehkan dalam Islam, mengacu pada fatwa Majlis Agama Malaysia. Namun, untuk transaksi simpan pinjam atau investasi semata-mata demi keuntungan, hukum syariah melarangnya. Hal itu sejalan dengan keputusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Majlis Fatwa Mesir.
Syahruddin juga memaparkan dampak DeFi terhadap perekonomian Indonesia. Di antaranya, peningkatan potensi penerimaan pajak negara yang diproyeksikan mencapai Rp746,16 miliar, pemanfaatan teknologi blockchain untuk penggalangan dana sosial seperti zakat, infaq, dan sedekah, serta perluasan inklusi keuangan di masyarakat.
Namun, ia mengingatkan potensi dampak negatif DeFi, seperti risiko ketidakstabilan keuangan akibat fluktuasi nilai aset kripto, serta peluang terjadinya regulatory arbitrage dan capital outflow yang dapat mempengaruhi nilai tukar rupiah.
Syahruddin menyarankan tiga langkah penting sebagai implikasi penelitiannya. Pertama, meningkatkan pemahaman masyarakat tentang teknologi DeFi agar terhindar dari penyalahgunaan dan perilaku Fear of Missing Out (FOMO).
Kedua, umat Islam di Indonesia didorong membangun platform DeFi yang sejalan dengan maqasid syariah, khususnya untuk penggalangan dana sosial dan pembayaran zakat.
Ketiga, pemerintah perlu membuat regulasi yang jelas, termasuk mendorong penciptaan aset digital berbasis underlying asset, seperti Rupiah Token, yang nilainya setara dengan Rp1 dan diawasi oleh Dewan Syariah Nasional MUI serta Otoritas Jasa Keuangan.
“Perlu kolaborasi antara masyarakat, pemerintah, dan lembaga keuangan syariah untuk mengembangkan ekosistem DeFi yang adil, aman, dan maslahat,” kata Syahruddin.