Oleh:Hamdan Juhannis, Rektor UIN Alauddin
PADA akhirnya kita menginginkan Kesejatian hadir menjadi bagian tak terpisahkan dalam diri. Diri ingin menjadi manusia sejati, manusia yang telah meresapi tentang esensi kemanusiaan, mengalami puncak spritualitas tentang kehambaan, memerankan setiap bagian fungsi kekhalifaan.
Pada akhirnya kita ingin memahami diri yang sesungguhnya, diri yang aslinya ibarat kertas putih bersih. Diri yang yang diteorikan oleh ahli sebagai “tabularasa”, batu tulis yang bersih atau papan tulis yang masih kosong.
Pada akhirnya kita ingin menyelami hakekat diri yang asli, bibir yang selalu melempar senyum, tangan yang selalu ingin menjabat, punggung yang selalu berusaha menggedong (back carry), mata yang selalu memberi kode persahabatan, kantong celana yang selalu ingin diraba untuk yang butuh. Jiwa yang selalu bersikap inklusif kepada yang berbeda.
Pada akhirnya kita pun tahu bahwa diri begerak berkelindan dengan perubahan zaman. Diri yang sudah tidak sering lagi mengaji karena diganti kesibukan medsos. Diri yang sudah mulai menggulung tasbih karena kesibukan game online. Diri yang sudah jarang hadir pada pengajian, karena lebih menikmati kesendirian sambil menggenggam gawai.
Diri yang sudah menjauhkan keluarga terdekat, karena disibukkan oleh kedekatan dari keluarga online yang begitu jauh. Diri yang mulai meninggalkan segala yang berbau “nyata” karena disibukkan oleh hal baru memikat yang serba “maya”.
Diri yang tidak lagi terpesona pada nilai silaturrahim yang selalu diyakininya, karena terpaku pada pershabatan dalam jaringan yang cenderung semu. Diri yang tidak lagi menjadikan kesederhanaan gaya hidup karena ada kecenderungan baru yang melanda jiwa, FoMO (Fear of Missing Out), merasa takut akan ketinggalan mode atau trend, yang berdampak pada munculnya keresahan jiwa lainnya, FoPO (Fear of People’s Opinion).
Pada akhirnya momentum Idulfitri kembali menyapa, diri kembali ingin berbenah menuju kepada kesejatian. Nabi pun memberi garansi bahwa bila diri mampu mempersembahkan puasa dengan penuh penghayatan, itu sama dengan ibarat kembali seperti kertas putih bersih, diri dengan energi yang kembali terbarukan.
Selamat Idul Fitri untuk semua. Sebagai makhluk yang sering terpeleset, semoga selalu berada di trek yang benar. Sebagai makhluk yang sering ternoda, semoga proses purifikasi selalu terjadi. Dan sebagai diri yang sering pelit, THRnya segera dibagi secara meluas, karena ada THR lain yang menunggu: Tagihan Habis Ramadan.