JAKARTA, BACAPESAN– Per 1 April 2025, Bank Indonesia (BI) menambah besaran insentif kebijakan likuiditas makroprudensial (KLM). Dari semula maksimal 4 persen menjadi 5 persen dari dana pihak ketiga (DPK) perbankan. Sehingga mampu mendorong pertumbuhan kredit sektor prioritas pemerintah. Khususnya di bidang perumahan, termasuk perumahan rakyat.
“Keputusan ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit dan pembiayaan perbankan kepada sektor-sektor prioritas yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, sejalan dengan program Asta Cita pemerintah,” kata Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Solikin M. Juhro.
Secara sektoral, insentif difokuskan pada ekspansi likuiditas untuk mendorong sektor-sektor prioritas, salah satunya adalah sektor perumahan. Besaran insentif KLM untuk sektor perumahan dinaikkan secara bertahap dari Rp 23 triliun menjadi Rp 80 triliun. Tentunya, insentif tersebut menjadi kabar gembira bagi masyarakat yang berniat memiliki rumah idaman. Karena pembiayaan dari perbankan akan semakin dimudahkan.
Kenaikan besaran KLM merupakan bagian dari bauran kebijakan bank sentral untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang tinggi, penciptaan lapangan kerja, dan kesejahteraan rakyat. Sektor perumahan dinilai memiliki backward dan forward linkage yang sangat tinggi. “Menurut data kami, terdapat sekitar 185 sektor dan subsektor yang menjadi backward linkage sektor perumahan. Misalnya bahan baku seperti genteng, semen, kontraktor, dan lainnya,” terang Solikin.
Sektor perumahan juga memberi multiplier effect ekonomi. Seperti sektor makanan dan minuman, asuransi, dan komunikasi. Penyerapan tenaga kerja juga menjadi pertimbangan BI. “Sehingga sektor perumahan disebut memiliki daya ungkit bagi pertumbuhan perekonomian,” imbuhnya.
Solikin mengestimasi, dampak kenaikan insentif KLM membuat tambahan likuiditas berkisar Rp 80 triliun untuk sektor perumahan. Insentif yang diberikan BI untuk perbankan yang menyalurkan kreditnya kepada sektor-sektor prioritas. Bentuknya berupa pengurangan giro wajib minimum (GWM) perbankan kepada BI.
Dengan demikian, BI nampaknya tkdak akan menurunkan besaran GWM yang dibebankan kepada perbankan sebesar 9 persen dalam waktu dekat. Belum ada kebutuhan mendesak saat ini. Meski, tentunya akan terus melakukan evaluasi secara berkala terkait hal tersebut.
“Kami selalu melakukan evaluasi setiap tiga bulan sekali. Kalau bicara kemungkinan ya mungkin saja. Tergantung kondisi dan urgensinya,” ujar Solikin.
Dalam hasil rapat dewan gubernur (RDG), Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan, kredit perbankan tetap tinggi untuk mendukung upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan kredit mencapai 10,30 persen year-on-year (YoY) pada Februari 2025. Didorong oleh sisi penawaran dan permintaan.
Dari sisi penawaran, pertumbuhan kredit ditopang oleh realokasi alat likuid ke kredit oleh perbankan yang masih berlanjut. Dukungan pendanaan dari pertumbuhan DPK yang terus mencatatkan tren positif sejak 2025. Serta ketersediaan likuiditas yang tetap baik sejalan dengan implementasi penguatan KLM.
Hingga pekan kedua Maret 2025, BI telah memberikan insentif KLM sebesar Rp 291,8 triliun. Masing-masing kepada kelompok bank BUMN (badan usaha milik negara) sebesar Rp 125,7 triliun, BUSN (bank umum swasta nasional) senilai Rp 132,8 triliun, BPD (bank pembangunan daerah) sebanyak Rp 27,9 triliun, dan KCBA (kantor cabang bank asing) Rp5,4 triliun.
“Secara sektoral, insentif tersebut disalurkan kepada sektor-sektor prioritas yakni pertanian, real estate, perumahan rakyat, konstruksi, perdagangan dan manufaktur, transportasi, pergudangan, pariwisata dan ekonomi kreatif, serta UMKM, Ultra Mikro, dan hijau,” ucap Perry.
Data Insentif KLM BI untuk Perbankan
Total insentif yang sudah disalurkan: Rp 291,8 triliun
Rinciannya:
Bank BUMN: Rp 125,7 triliun
Bank Swasta Nasional (BUSN): Rp 132,8 triliun
Bank Pembangunan Daerah (BPD): Rp 27,9 triliun
Bank Syariah dan Konvensional Lainnya (KCBA): Rp 5,4 triliun. (JP)