Prof Ahmad Amiruddin, Tokoh Sulsel Padukan Keilmuan dan Arah Pembangunan

  • Bagikan

DALAM sejarah ekonomi pembangunan daerah di Indonesia, tidak banyak tokoh yang mampu memadukan keilmuan, keberpihakan pada rakyat, dan keberanian dalam menentukan arah pembangunan seperti Prof. Ahmad Amiruddin.

Lahir pada 25 Juli 1932, ia dikenal sebagai ahli kimia nuklir, namun kiprah terbesarnya justru ditorehkan dalam ranah kepemimpinan daerah. Sebagai Rektor Universitas Hasanuddin (1973–1982), lalu menjabat sebagai Gubernur Sulawesi Selatan selama dua periode (1983–1988 dan 1988–1993), serta menjadi Wakil Ketua MPR-RI (1992–1997), Ahmad Amiruddin tidak hanya mengelola administrasi, tetapi juga merumuskan ulang arah pembangunan ekonomi Sulawesi Selatan secara fundamental, berlandaskan pada nilai-nilai lokal, kemandirian, dan daya tahan masyarakat akar rumput.

Kepemimpinan Ahmad Amiruddin muncul di tengah berbagai tantangan struktural: infrastruktur yang belum memadai, ketimpangan antarwilayah, serta dominasi sistem ekonomi nasional yang sentralistik dan cenderung menempatkan daerah hanya sebagai pemasok bahan mentah. Dalam situasi itu, masyarakat Sulawesi Selatan sebagian besar menggantungkan hidup pada sektor agraris dan maritim yang masih bersifat tradisional. Namun, alih-alih mengikuti arus pembangunan eksploitatif dan top-down, beliau memperkenalkan pendekatan pembangunan ekonomi berbasis pada potensi lokal, keberlanjutan, dan keadilan sosial.

Konsep yang ia kembangkan meliputi tiga prinsip utama: pengwilayahan komoditas, petik-olah-jual, dan pembangunan kesadaran masyarakat. Ketiganya bukan hanya konsep teknokratis, tetapi merupakan strategi menyeluruh untuk membangun ketahanan ekonomi dari unit-unit kecil masyarakat, yang dalam tulisan ini disebut sebagai “sel-sel ekonomi”—yakni kelompok tani, nelayan, komunitas usaha mikro, dan lembaga ekonomi lokal lain yang menjadi basis utama penghidupan rakyat.

Pengwilayahan komoditas merupakan upaya sistematis untuk memetakan potensi masing-masing wilayah berdasarkan keunggulan geografis dan sosial budaya. Dataran tinggi difokuskan pada hortikultura seperti kopi dan sayuran, pesisir pada rumput laut dan perikanan, serta dataran rendah pada tanaman pangan seperti jagung dan padi. Dengan pendekatan ini, Ahmad Amiruddin mendorong efisiensi spasial sekaligus menciptakan keunggulan komparatif. Tidak hanya perencanaan produksi menjadi lebih tepat, tapi juga distribusi logistik dan pengembangan industri kecil menjadi lebih terarah. Ini memberikan peluang bagi tumbuhnya klaster-klaster ekonomi lokal yang mandiri dan saling menopang satu sama lain.

Kekuatan terbesar dari pendekatan Ahmad Amiruddin terletak pada gagasannya mengenai hilirisasi skala rakyat, yang ia istilahkan sebagai “petik-olah-jual.” Dalam konsep ini, rakyat tidak lagi hanya menjadi produsen bahan mentah, melainkan juga pelaku utama dalam pengolahan dan pemasaran produk. Petani didorong untuk mengolah hasil panen menjadi produk setengah jadi atau siap konsumsi. Nelayan dilatih untuk mengawetkan dan mengolah hasil tangkapan agar memiliki nilai tambah. Ini memperpendek rantai distribusi, meningkatkan posisi tawar produsen lokal, dan menciptakan kemandirian ekonomi pada tingkat komunitas.

Dalam konteks tersebut, sistem “teseng”—sistem bagi hasil tradisional khas Bugis-Makassar—diperkuat kembali. Berbeda dengan kontrak ekonomi modern yang cenderung berbasis hukum formal, teseng dibangun di atas kepercayaan, musyawarah, dan keadilan sosial.

Pemilik lahan atau alat produksi dan buruh tani atau nelayan menyusun kesepakatan berbasis kontribusi kerja dan risiko. Model ini tidak hanya adil, tapi juga memperkuat relasi sosial antarwarga dan mencegah eksploitasi antar kelas produksi. Dengan revitalisasi teseng, Ahmad Amiruddin membangun kontrak sosial baru dalam ekonomi rakyat yang etis, partisipatif, dan berbasis budaya lokal.

Menghadapi Krisis 1997–1998: Bukti Ketahanan Ekonomi Sel-Sel

Kekuatan konsep ekonomi Ahmad Amiruddin diuji secara nyata menjelang dan saat krisis moneter 1997–1998. Di saat banyak daerah lain mengalami kontraksi ekonomi, disertai gejolak sosial akibat inflasi, kelangkaan bahan pokok, dan ketergantungan pada distribusi nasional, banyak wilayah di Sulawesi Selatan menunjukkan ketahanan luar biasa. Mengapa?

Karena sel-sel ekonomi rakyat telah terbiasa mengelola produksi sendiri, mengolah dan mendistribusikan produk melalui jalur lokal, serta menjalin relasi ekonomi berdasarkan solidaritas dan nilai kebudayaan. Sistem koperasi, kelompok usaha bersama, dan pelatihan wirausaha yang telah dibangun sebelumnya menjadi instrumen penting dalam menjaga kestabilan ekonomi dan sosial. Dalam banyak kasus, masyarakat mampu mencukupi kebutuhan pangan, mengakses pasar lokal, dan menjaga keberlangsungan usaha mikro tanpa terlalu bergantung pada sistem distribusi nasional yang terguncang hebat.

Relevansi Menuju Indonesia Emas 2045

Hari ini, saat Indonesia menatap cita-cita besar Indonesia Emas 2045, warisan pemikiran Ahmad Amiruddin menjadi semakin relevan. Dunia sedang menghadapi ancaman krisis pangan, energi, dan ketidakpastian geopolitik. Ketahanan ekonomi tidak cukup dibangun melalui investasi besar dan infrastruktur megah—tetapi harus dimulai dari sel-sel kecil yang tangguh, adaptif, dan berakar secara sosial-budaya.

Sektor agraris dan maritim yang selama ini menjadi “penopang” harus dinaikkan kelasnya menjadi “pilar utama” ekonomi nasional. Hilirisasi tidak boleh hanya berhenti pada tambang dan industri besar, tapi juga harus masuk ke dalam pertanian rakyat, perikanan tradisional, dan UMKM lokal. Dalam konteks ini, model teseng dapat diperbarui sebagai model ekonomi kerakyatan masa depan—yang etis, partisipatif, dan berbasis pada rasa keadilan serta gotong royong.

Ahmad Amiruddin telah menunjukkan bahwa kekuatan ekonomi bangsa ini tidak hanya terletak pada angka-angka makro, tetapi juga pada ketahanan mikro: pada desa, laut, pasar tradisional, dan nilai-nilai lokal yang menyatukan masyarakat. Kini, tugas kita bukan sekadar mengenangnya sebagai tokoh sejarah, tetapi menghidupkan kembali gagasannya sebagai strategi ekonomi masa depan. Sebab dalam setiap krisis, harapan muncul dari ketangguhan yang dibangun dari bawah.

Oleh Muhammad Aras Prabowo
Pengamat Ekonomi UNUSIA, Ketua Prodi Akuntansi UNUSIA, Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor

  • Bagikan