Kemenkes: Tes Kejiwaan Calon Dokter secara Berkala dengan Metode MMPI

  • Bagikan

JAKARTA, BACAPESAN- Wakil Menteri Kesehatan (Wamenkes) Dante Saksono Harbuwono sempat menyatakan bahwa ke depan akan dilakukan penjaringan psikologis bagi calon dokter. Salah satu metodenya dengan Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI). Wacana itu dikuatkan oleh Dokter spesialis kesehatan jiwa, dr Lahargo Kembaren SpKJ yang menyatakan tes MMPI cukup efektif.

Lahargo mengatakan, kondisi mental seseorang dapat diketahui melalui dua cara. Pertama, bisa dilakukan wawancara psikiatri terstruktur. Kedua intrumen pemeriksaan psikologis seperti MPPI. “Ini cukup efektif,” kata Lahargo dilansir dari Jawa Pos, Sabtu 19 April.

Merujuk pada website National Library of Medicine, MPPI adalah tes psikometrik yang paling umum dirancang untuk menilai ciri-ciri kepribadian dan psikopatologi. Data ini dapat digunakan untuk menarik kesimpulan tentang psikopati peserta tes atau untuk menafsirkan karakteristik psikologis dibandingkan dengan norma.

Pengaplikasian tes ini untuk mengevaluasi ulang gambaran klinis yang ambigu. Data yang didapat, membantu dalam menciptakan data yang dapat digeneralisasikan yang relevan dengan banyak kemungkinan kondisi.

MMPI dikembangkan pada 1930-an dan dipublikasikan melalui Universitas Minnesota pada 1942 oleh Stuart Hathaway dan Charley McKinley. Uji cobanya menggunakan pengunjung pasien di rumah sakit Universitas Minnesota sebagai sampel dasar dalam menyusun teori tentang penyakit kejiwaan dan menggunakan instrumen tersebut.

Untuk mengetahui kondisi kejiwaan, Lahargo menyatakan tes bisa dilakukan secara berkala. “Setahun sekali,” ungkapnya.

Pengujian dilakukan melalui 567 item benar atau salah menggunakan buklet dengan lembar jawaban yang menyertainya. Intrumen untuk penelitiannya selalu diperbarui. Yang terakhir adalah MPPI 3 yang baru dirilis 2020.

Sebelumnya Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) menyatakan profesionalisme tenaga medis tidak hanya ditentukan oleh kompetensi klinis, tetapi juga kesiapan psikologis dalam menghadapi beban kerja, tantangan etik, serta tekanan emosional yang menyertai praktik kedokteran.

Sehingga perlu pemeriksaan kesehatan jiwa secara berkala memungkinkan deteksi dini terhadap potensi gangguan psikologis dan menjadi bagian dari sistem pendukung profesional yang sehat dan berkelanjutan. (JP)

  • Bagikan

Exit mobile version