JAKARTA, BACAPESAN– Industri animasi Indonesia menunjukkan potensi yang menjanjikan untuk dilirik, menyusul kesuksesan luar biasa film animasi “Jumbo” produksi Visinema Studios.
Film “Jumbo” yang sempat diperkenalkan di ajang Hong Kong Filmart 2025, secara tak terduga mampu menduduki posisi ketiga film terlaris sepanjang masa di Indonesia, menurut Deadline, dikutip di Jakarta, Jumat.
Dengan pendapatan mencapai 23,7 juta dolar AS dan menarik lebih dari 9,4 juta penonton, “Jumbo” membuktikan bahwa animasi lokal mampu bersaing dan bahkan melampaui film-film impor, termasuk dalam genre animasi.
Pencapaian “Jumbo” sebagai film animasi Asia Tenggara terlaris dan film animasi paling banyak ditonton di Indonesia menjadi indikator kuat akan adanya pasar dan apresiasi yang besar terhadap karya animasi buatan anak bangsa.
Sesuatu yang awalnya tidak disangka-sangka oleh Kepala Staf Visinema Group, Mia Angelia Santosa, menurut Deadline, mengingat pandangan awalnya yang sederhana mengenai potensi pasar animasi Indonesia saat “Jumbo” diperkenalkan di ajang Hong Kong Filmart Maret 2025, dibayang-bayangi kesuksesan film animasi Tiongkok “Nezha 2” pada Maret lalu.
“Kami hanya membuat satu fitur animasi setiap beberapa tahun, jadi kami benar-benar tidak tahu apakah ada pasar untuk Jumbo,” kata Santosa, sebagaimana dilansir dari Deadline.
Jumbo dibuat dengan anggaran kurang dari 3 juta dolar AS, dan melibatkan lebih dari 420 kreator lokal. Film itu menceritakan tentang Don, seorang anak yatim piatu yang dirundung teman-temannya dengan julukan “Jumbo” karena tubuhnya yang gemuk.
Sebuah buku cerita warisan dari orang tuanya, yang penuh dengan gambar dan cerita ajaib, membawa Don bertemu Meri, seorang peri yang mencari bantuannya untuk menyatukan kembali Meri dengan keluarganya.
Pengisi suara film itu antara lain Pangeran Poetiray, Muhammad Adhiyat, Ariel Noah, Graciella Abigail, Yusuf Ozkan dan Quinn Salman.
Mencermati kembali inspirasi di balik pembuatan Jumbo pada 2019, Santosa mengemukakan kurangnya konten buatan lokal untuk anak-anak dan keluarga di Indonesia saat itu.
“Sebagian besar penonton hanya dapat mengakses film impor,” ujarnya kepada Deadline.
Santosa menambahkan, “Kami selalu melihat peluang di sana, tetapi kami harus meyakinkan seluruh industri film terlebih dahulu, yang merupakan tantangan terbesar. Kami tahu bahwa di Indonesia, membuat film ‘live-action’ selalu lebih mudah dan perputarannya lebih cepat. Film horor juga selalu memenuhi layar bioskop kami.”
Dengan pemikiran itu, Santosa bertanya-tanya bagaimana dan di mana film animasi akan masuk ke pasar.
“Mengapa ada orang yang memasuki ruang ini? Mengapa ada orang yang mencoba menciptakan sesuatu yang produksinya sendiri membutuhkan waktu setengah dekade untuk terbentuk, dan juga sulit untuk mendapatkan bakat dan hal-hal seperti itu?” tanya Santosa pada dirinya sendiri.
“Memberikan informasi kepada industri bukanlah hal yang mudah, terutama jika kita berbicara tentang film, investasi, dan upaya penggalangan dana. Awalnya memang sangat sulit, tetapi kami telah menghabiskan hampir enam tahun untuk mempelajari audiens, minat audiens Indonesia, dan meyakinkan sineas lain bahwa kami memiliki peluang di sini,” kata Santosa.
Produser Anggia Kharisma melihat kesuksesan “Jumbo” sebagai momentum penting untuk mendorong pertumbuhan konten anak-anak dan keluarga di Indonesia. Minimnya konten lokal berkualitas untuk segmen ini menjadi peluang besar yang kini berhasil dijawab oleh “Jumbo”.
“Data menunjukkan bahwa konten lokal untuk segmen ini masih sangat minim, hanya sekitar 0,7 persen dari total konten yang ada,” kata Anggia.
Sutradara Ryan Adriandhy, yang terjun ke Visinema Studios setelah menyelesaikan studi animasinya di Rochester Institute of Technology, sedari awal mengaku optimistis melihat potensi besar pada talenta-talenta animasi Indonesia yang selama ini lebih banyak bekerja untuk proyek-proyek film luar negeri.
Kesuksesan “Jumbo” diprediksi Ryan dapat menjadi pemicu bagi para animator lokal untuk lebih berani menciptakan dan mengembangkan kekayaan intelektual (IP) sendiri.
Dengan semakin banyak karya animasi berkualitas yang diproduksi, ia optimistis film animasi Indonesia yang berkualitas bisa terus bertumbuh dan memberikan kontribusi signifikan bagi perfilman nasional.
Harapannya, keberhasilan “Jumbo” menginspirasi seluruh ekosistem perfilman Indonesia untuk lebih melirik dan berinvestasi di sektor animasi. Potensi besar animasi Indonesia kini semakin jelas terlihat, dan “Jumbo” menjadi bukti nyatanya. (AN)