BULUKUMBA, BACAPESAN.COM – Pada hari Rabu, 28 Mei 2025, warga dari dua desa pesisir yakni Darubiah dan Bira, Kecamatan Bontobahari, melakukan aksi damai di depan kantor DPRD Kabupaten Bulukumba.
Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap rencana penggusuran paksa oleh Pemerintah Kabupaten Bulukumba atas wilayah permukiman warga yang kini disebut sebagai bagian dari kawasan Taman Hutan Raya (Tahura).
Warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Bontobahari menuntut agar hak atas tanah yang telah dihuni secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka sejak sebelum kemerdekaan Indonesia tetap dihormati dan dilindungi.

Sebagian warga, khususnya di wilayah Lahongka, Desa Darubiah, bahkan memiliki SPPT (Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang) sebagai bentuk interaksi hukum dan administratif dengan negara. Uang dari pajak tersebut telah masuk ke kas negara, sehingga penghapusan hak warga atas tanah itu justru menunjukkan kontradiksi dan pengingkaran terhadap kebijakan negara itu sendiri.
Dalam aksi tersebut, warga menyuarakan penderitaan dan penolakan mereka secara terbuka, dan berhasil mendorong terjadinya dialog langsung dengan dua anggota DPRD Kabupaten Bulukumba, yaitu:
Efhi Wahyudi Masri, anggota DPRD dari Fraksi Gerindra, Dapil 4 (Bontotiro–Bontobahari)
Syamsul Paro, anggota DPRD dari Fraksi Gerindra, Dapil 1 (Ujung Bulu–Ujung Loe)
Kehadiran dan respons dari kedua anggota dewan ini menjadi langkah awal dalam membuka ruang komunikasi, namun warga tetap menuntut tindakan nyata dari DPRD dan pemerintah daerah.
Setelah aksi di DPRD, warga melanjutkan aksi damai di depan Kantor Bupati Bulukumba, sebagai bentuk penegasan bahwa tanggung jawab utama atas rencana penggusuran ini berada di tangan Bupati H. Andi Muchtar Ali Yusuf.
Di sana, warga kembali menyuarakan tuntutan dan harapan agar Bupati hadir langsung mendengarkan dan menyelesaikan persoalan ini secara adil dan bermartabat.
Adapun tuntutan resmi kami adalah sebagai berikut:
- Menolak dengan tegas rencana penggusuran warga di Bontobahari yang selama ini telah hidup, tinggal, dan membangun kehidupan sosial secara turun-temurun di atas tanah tersebut.
- Menegaskan bahwa penerbitan SPPT oleh negara kepada warga merupakan bentuk pengakuan atas keberadaan hukum masyarakat, dan karenanya, penggusuran atas tanah tersebut adalah bentuk pengingkaran terhadap kebijakan negara itu sendiri.
- Menuntut DPRD Kabupaten Bulukumba untuk mengeluarkan pernyataan sikap resmi menolak penggusuran dan segera menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan menghadirkan warga, kuasa hukum, Bupati Bulukumba, dan instansi terkait.
- Menuntut Bupati H. Andi Muchtar Ali Yusuf untuk bertanggung jawab secara terbuka dan politik atas kebijakan ini, serta hadir langsung mendengarkan suara warga terdampak.
- Mendesak penghentian seluruh bentuk intimidasi, surat peringatan, maupun tekanan terhadap warga, baik secara langsung maupun melalui aparat negara, selama proses penyelesaian masalah belum tuntas secara adil.
- Menyatakan bahwa perjuangan mempertahankan tanah, rumah, dan ruang hidup adalah bagian dari hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
Kami tegaskan bahwa penggusuran bukanlah penyelesaian yang manusiawi. Ia tidak menyelesaikan masalah, justru melahirkan penderitaan baru dan luka sosial yang dalam bagi masyarakat. Dan seperti sejarah yang telah membuktikan, kami akan kembali — membangun kehidupan baru di tanah kelahiran kami sendiri. Karena bagi kami, lebih baik mati bersimbah darah daripada terusir dari tanah warisan leluhur yang kami cintai.

Namun, kami percaya bahwa bangsa ini masih punya hati nurani. Oleh karena itu, kami mengajak pemerintah — eksekutif, legislatif, hingga penegak hukum — untuk menyelesaikan persoalan ini dengan cara yang berakar pada budaya dan nilai-nilai luhur kita sebagai suku Bugis-Makassar:
Sipakatau – saling memanusiakan,
Sipakalebbi – saling menghormati,
Sipakainge – saling mengingatkan.
Mari kita tidak melupakan siapa kita. Jangan biarkan tanah ini ternoda oleh kekuasaan yang abai dan kekerasan yang membungkam suara rakyatnya. Mari selesaikan dengan dialog, keadilan, dan kearifan lokal yang selama ini telah menjadi suluh masyarakat Sulawesi Selatan.
Perjuangan ini didukung oleh aktivis dan mahasiswa, termasuk Ahmad Rifai dari Universitas Handayani Makassar, yang bertindak sebagai jenderal lapangan dalam aksi tersebut. Ia menegaskan bahwa perjuangan ini bukan sekadar persoalan agraria, tetapi juga soal martabat, sejarah, dan hak untuk hidup layak di tanah sendiri.
“Tidak ada keadilan tanpa keberanian. Jika negara tidak hadir melindungi rakyat, maka rakyat akan hadir melindungi dirinya sendiri.”
Hormat kami,
Aliansi Masyarakat Bontobahari
Desa Darubiah – Bira
Kabupaten Bulukumba, Mei 2025
Penulis: Ahmad Rifai